Cari Blog Ini

Rabu, 02 Januari 2013

Justifikasi Kinerja Pengembangan SMK (Renstra 2005-2009) dan Prediksi Renstra 2010-2014 
B. Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing 
 Oleh : SANNAI, S.Pd 
 KRITIKAN TERHADAP RENSTRA KEMDIKNAS 2005-2009 
B. Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing 
A. PENDAHULUAN Permasalahan mutu pendidikan tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan suatu sistem yang saling berpengaruh. Mutu keluaran dipengaruhi oleh mutu masukan dan mutu proses. Pembahasan dalam Bab ini didasarkan pada komponen masukan, proses, dan keluaran. Mutu masukan pendidikan dapat dilihat dari kesiapan murid dalam mendapatkan kesempatan pendidikan. Kenyataannya, masih banyak murid yang tidak siap karena sebagian menderita kekurangan gizi, cacingan, ataupun kondisi kesehatan dan kebugaran jasmani yang tidak mendukung. Di samping itu, ada pula perilaku negative peserta didik yang berdampak pada kesehatan dan proses belajar mengajar seperti perilaku merokok, penyalahgunaan narkoba, seks pra-nikah, dan kasus HIV/AIDS pada usia produktif (15—24 tahun) yang semakin meningkat. Data Pusjas tahun 2004 menunjukkan bahwa sebagian siswa (46%) berada dalam kategori tingkat kebugaran kurang, dan (37%) dalam tingkat kebugaran sedang. Data Susenas tahun 2003 mengungkapkan bahwa dari sekitar 18 juta anak usia balita, sekitar 28% atau lima juta anak berstatus kekurangan gizi dan lebih dari 50% anak SD/MI menderita cacingan. (Depkes, 2003). Dari jumlah Balita yang kurang gizi itu lebih dari 30% menimpa mereka yang berusia di bawah dua tahun. Kekurangan gizi tersebut akan berdampak pada kapasitas intelektual anak. Pada usia tersebut diketahui bahwa 50% proses pembentukan otak anak sedang berlangsung. Secara eksternal, komponen masukan pendidikan yang secara signifikan berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan meliputi (1) ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang belum memadai baik secara kuantitas dan kualitas, maupun kesejahteraannya; (2) prasarana dan sarana belajar yang belum tersedia dan belum didayagunakan secara optimal; (3) pendanaan pendidikan yang belum memadai untuk menunjang mutu pembelajaran; dan (4) proses pembelajaran yang belum efisien dan efektif. Salah satu faktor yang terpenting dalam mempengaruhi kualitas pendidikan adalah ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan. Sampai dengan tahun 2002/2003 terdapat sekitar 2,7 juta guru dari jenjang pendidikan prasekolah hingga menengah, baik pada sekolah negeri maupun swasta. Namun jumlah tersebut belum memadai, karena itu masih diperlukan sekitar 400 ribu orang. Dalam kaitan dengan tenaga kependidikan, data Balitbang Depdiknas tahun 2003/2004 mengungkapkan bahwa pegawai administrasi di SD masih sangat kurang. Jumlah SD 135.644 sekolah hanya memiliki pegawai administrasi 7.687 orang dan penjaga sekolah 100.486 orang. Dari 21.256 SMP, terdapat 15.636 perpustakaan baru memiliki 8.474 petugas perpustakaan, dari 14.900 laboratorium hanya tersedia 1.892 laboran. Pada 8.238 SMA dengan 5.598 perpustakaan baru memiliki 4.402 petugas perpustakaan, dari 10.050 laboratorium baru memilki 1.555 laboran. Pada 5.115 SMK dengan 3.745 perpustakaan baru memiliki 2.017 petugas perpustakaan, dari 1.461 laboratorium baru memilki 804 laboran. Tenaga kependidikan pada perpustakaan dan laboratorium sebagian besar belum memiliki kualifikasi dan kompetensi yang memadai, sehingga mutu layanan pendidikan belum optimal. Berdasarkan data tahun 2004 jumlah pengawas 21.627 orang. Jumlah tersebut tidak sebanding dengan sekolah yang menjadi sasaran supervisi, selain itu letak geografis sekolah yang menyulitkan supervisi, sehingga pengawasan proses pembelajaran belum dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Pemerintah telah berusaha menambah tenaga pendidik, khususnya guru. Upaya tersebut belum dapat memenuhi kekurangan guru di setiap jenjang pendidikan sebagai akibat banyaknya guru yang mencapai usia pensiun, berhenti, mutasi, dan meninggal dunia. Padahal di SMP saja setiap tahun ada tambahan 400 ribu murid baru. Untuk mengatasi kekurangan guru, maka mulai tahun 2003 telah dilakukan pengadaan guru bantu mencapai jumlah 190.332 orang dan pada tahun 2004 juga dilakukan pengadaan guru bantu sekitar 71.309 orang. Dari jumlah pengadaan guru bantu ditambah dengan PNS baru nonguru bantu yang berjumlah sekitar 38.533, maka total penambahan guru selama tahun 2003 dan 2004 berjumlah sekitar 300.174 orang. Apabila ditambah dengan kekurangan guru tahun 2002/2003 maka jumlahnya menjadi 427.903 orang, belum lagi apabila ditambah dengan guru yang pensiun pada tahun 2003 yang berjumlah sekitar 29.937 orang, maka kebutuhan guru untuk tahun 2004 yaitu 157.666 orang. Kalau ditambah dengan jumlah guru yang pensiun, maka kebutuhan guru tahun 2005 menjadi 218 ribu orang. Dalam rangka menuntaskan Program Wajar Dikdas 9 Tahun, terdapat sekitar 400 ribu anak usia 13-15 tahun akan memasuki jenjang SMP/MTs sehingga dibutuhkan sekitar 25 ribu guru setiap tahunnya. Kekurangan guru tersebut apabila dilihat dari rasio guru terhadap siswa akan menjadi kontras. Tabel 3.1 menunjukkan rasio guru terhadap siswa pada jenjang SD, SMP, dan SMA tahun 2003 . Tabel 3.1 Rasio Pendidikan Tahun 2002/2003 Apabila dibandingkan dengan rasio guru terhadap siswa berdasarkan standar nasional pendidikan, maka jumlah guru pada jenjang tersebut sudah sangat ideal. Rasio ini tidak diikuti dengan pendayagunaan guru secara efisien. Beberapa faktor penyebab ketidakefisienan tersebut adalah terjadinya penumpukan guru di daerah perkotaan, kurikulum yang sangat terspesialisasikan pada pendidikan menengah, dan banyaknya sekolah dasar kecil dengan rata-rata jumlah murid di bawah 100 orang. Rasio pelayanan siswa per guru tersebut akan menjadi isu kebijakan penting dalam peningkatan mutu dan efisiensi pendidikan, karena akan menghambat pemenuhan pembiayaan untuk biaya operasi satuan pendidikan dan upaya untuk meningkatkan gaji guru. Jumlah guru yang besar dan menumpuk pada lokasi tertentu dapat dimanfaatkan untuk mendukung penyelenggaraan SMP Terbuka, baik sebagai guru bina maupun guru pamong. Saat ini dari SMP Terbuka memerlukan 30.000 orang guru bina dan 13.000 guru pamong. Guru bina direkrut dari guru mata pelajaran SMP yang tugas mengajarnya belum mencapai tugas maksimal sedang guru pamong pada umumnya diambil dari guru SD/MI. Walaupun demikian kelebihan guru di sekolah-sekolah perkotaan merupakan persoalan yang perlu ditangani secara serius. Tabel 3.2 Kualifikasi Pendidik Tahun 2002/2003 Kualifikasi pendidik ditinjau dari ijazah tertinggi menunjukkan keragaman. Pada jenjang TK dan SD pendidik dengan kualifikasi sarjana (S1) persentasenya masih sangat kecil. Sebagian besar pendidik pada TK adalah mereka yang berpendidikan di bawah D1, sedangkan untuk SD mayoritas pendidikan berlatar belakang D1 dan D2. Untuk jenjang pendidikan tinggi, persentase pengajar dengan ijazah sarjana (S1) lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan kondisi yang kurang baik dibandingkan dengan ijazah pendidik pada SMA dan SMK dengan latar belakang S1 lebih dari 60%. Masalah guru atau pendidik lainnya adalah masih terdapatnya kesenjangan guru dilihat dari keahliannya. Guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keahliannya (mismatch) yang masih banyak terjadi terutama pada jenjang SM swasta dan MA. Dalam kaitannya dengan kelayakan mengajar guru, data Balitbang tahun 2004 menyebutkan bahwa persentase guru yang tidak layak mengajar masih cukup tinggi, terutama pada jenjang SD yaitu sekitar 609.217 orang (49,3%) baik pada sekolah negeri maupun swasta, seperti yang tercantum pada Tabel 3.3. Tabel 3.3 Guru dan Kepala Sekolah Menurut Kelayakan Mengajar Tahun 2002/2003 No. Kelayakan Negeri % Swasta % Jumlah % 1 SD 1,143,070 92.6 91,857 7.4 1,234,927 100.0 a. Layak 584,395 47.3 41,315 3.3 625,710 50.7 b. Tidak Layak 558,675 45.2 50,542 4.1 609,217 49.3 2 SMP 311,531 66.7 155,217 33.3 466,748 100.0 a. Layak 202,720 43.4 96,385 20.7 299,105 64.1 b. Tidak Layak 108,811 23.3 58,832 12.6 167,643 35.9 3 SMA 122,803 53.4 107,311 46.6 230,114 100.0 a. Layak 87,379 38.0 67,051 29.1 154,430 67.1 b. Tidak Layak 35,424 15.4 40,260 17.5 75,684 32.9 4 SMK 48,645 33.0 98,914 67.0 147,559 100.0 a. Layak 27,967 19.0 55,631 37.7 83,598 56.7 b. Tidak Layak 20,678 14.0 43,283 29.3 63,961 43.3 Proporsi guru yang berpendidikan di bawah kualifikasi minimal tersebut tentu tidak memadai jika Pemerintah ingin menyediakan pelayanan pendidikan yang berkualitas. Untuk jenjang pendidikan SMP dan SM yang menggunakan sistem guru mata pelajaran, banyak pula terjadi ketidaksesuaian antara pelajaran yang diajarkan dengan latar belakang pendidikan guru. Pada jenjang SMP, SMA dan SMK persentase guru yang belum memiliki kualifikasi masing-masing adalah 36%, 33%, dan 43%. Dilihat dari sisi penghasilan, guru PNS memiliki gaji yang belum memadai apabila dibandingkan dengan gaji guru di negara tetangga, seperti Malaysia, Brunei, atau Singapura, meskipun apabila dibandingkan dengan gaji PNS lainnya di Indonesia gaji guru PNS relatif lebih baik karena adanya tunjangan fungsional. Kondisi yang memprihatinkan dirasakan pula oleh para guru bantu di sekolah-sekolah negeri yang memiliki penghasilan di bawah upah minimum regional. Di samping permasalahan di atas, persoalan lain adalah masalah perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugas profesinya yang belum optimal, seperti: dipaksa pensiun dini dan perlakuan yang tidak adil terhadap guru. Sementara itu, penghargaan kepada pendidik dan tenaga kependidikan yang berprestasi dan berdedikasi juga masih minim. Hal ini mempengaruhi produktivitas pendidik dan tenaga kependidikan. Di samping itu, permasalahan yang juga penting dalam kaitannya dengan diberlakukannya otonomi daerah adalah belum efektif dan efisiennya manajemen guru, terutama pada pemerintah daerah. Pada pendidikan tinggi, peningkatan mutu dan kualifikasi dosen menjadi factor yang sangat mempengaruhi proses pendidikan. Pada tahun 2003, dari 58.664 orang di perguruan tinggi negeri (PTN), proporsi dosen dengan pendidikan tertinggi S2/S3 baru mencapai 54,50%. Sedangkan pada PTS, dari jumlah 88.865 orang dosen yang ada, proporsi dosen dengan pendidikan tertinggi S2/S3 hanya 34,50 %. Tenaga kependidikan pada pendidikan nonformal (PNF) juga masih memerlukan perbaikan. Sampai tahun 2004, pamong belajar di seluruh tanah air berjumlah 3.432 orang. Pamong belajar yang berada di lima UPT Pusat, yaitu Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP) berjumlah 541 orang dan pamong belajar yang berada di 22 UPTD Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) berjumlah 443 orang. Pamong belajar yang berada di UPTD Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) kabupaten/kota berjumlah 2448 orang. Jumlah tersebut sangat tidak memadai dibandingkan dengan besarnya sasaran dan luasnya jangkuan program PNf . Sampai tahun 2004, pamong belajar yang berpendidikan Diploma sebanyak 175 orang, S-1 sebanyak 2047 orang, dan berpendidikan S-2 sebanyak 210 orang, yang lainnya masih berpendidikan sekolah menengah atau lebih rendah. Dari seluruh pamong belajar balai pengembangan, sebanyak 75% menguasai program PNf, maksimal 45% menguasai pengembangan program PNf dan 30% menguasai tugas peningkatan mutu sumberdaya manusia. Sedangkan pamong belajar SKB yang memiliki jenjang pendidikan S-1 baru sebanyak 621 orang. Tugas pamong belajar SKB adalah melaksanakan percontohan dan pengendalian mutu program PNf . Tugas ini baru dikuasai oleh 65% dari jumlah pamong belajar SKB. Kemampuan lain yang harus dikuasai oleh pamong belajar SKB adalah memberikan bimbingan, pendampingan dan pemotivasian kepada masyarakat. Tugas ini baru dikuasai 45% dari jumlah pamong belajar yang ada di SKB. Tenaga fungsional lain di lingkungan pendidikan nonformal adalah penilik. Penilik di seluruh Indonesia sampai dengan tahun 2004 dan telah diimpassing berjumlah 6.651 orang. Penilik yang memiliki jenjang pendidikan S-1 baru 2.345 orang. Tugas penilik sebagai pengendali program PNf baru dikuasai oleh 35% dari jumlah penilik yang ada. Tugas lain yang belum dikuasai secara baik oleh penilik adalah penguasaan program dan kepenilikan PNf . Dari aspek fisik, kondisi prasarana dan sarana pendidikan belum sepenuhnya memadai, hal ini antara lain dapat dilihat dari ketersediaan perpustakaan di sekolah. Secara nasional, baru 27,6% SD yang sudah memiliki perpustakaan sekolah. Di samping itu, terjadi sebaran yang kurang merata menurut provinsi. Di Yogyakarta, misalnya, terdapat 72,8% SD yang memiliki perpustakaan sedangkan di Maluku Utara hanya lima persen yang sudah memiliki perpustakaan sekolah. Tabel 3.4 Kondisi Ruang Belajar Tahun 2003 No Bangunan/ Gedung Kondisi Bangunan Ruang Belajar Jumlah Layak pakai % Rusak Berat % Rusak Ringan % 1 SD 364.440 42,12 201.237 23,26 299.581 34,62 865.258 2 SMP 155.283 82,29 9.599 5,12 23.598 12,59 187.480 3 SMA 72.408 92,34 1.588 2,03 4.416 5,63 78.412 4 SMK 89.507 92,00 2.919 3,00 4.864 5,00 97.290 Sumber: PDIP Balitbang Depdiknas, 2003 Selain kondisi fasilitas yang demikian, juga banyak ruang belajar dan sarana belajar lain seperti laboratorium, sarana olahraga yang rusak. Pada tabel 3.4, dari sekitar 865.258 ruang belajar (lokal) terdapat sekitar 500.818 lokal SD/MI (57,8%) yang rusak ringan dan rusak berat. Sementara pada jenjang SMP dari sekitar 187.480 ruang belajar terdapat 31.198 lokal SMP/MTs (17,7%) yang juga mengalami rusak ringan dan berat. Pada jenjang SM terdapat sekitar 13.777 lokal (15,6%) yang rusak ringan dan rusak berat. Kondisi yang demikian, selain akan berpengaruh pada ketidaklayakan dan ketidaknyamanan pada proses belajar mengajar, juga akan berdampak pada keengganan orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Fasilitas lainnya yang turut mempengaruhi mutu pendidikan ialah ketersediaan buku. Secara nasional, rata-rata rasio buku per siswa untuk SD, SMP, SMA, dan SMK adalah 0,80; 0,85; 0,65; dan 0,25. Masih jauh dari kondisi ideal rasio 1:1, satu siswa satu buku. Masalah yang lebih besar tidak hanya terletak pada ketersediaan buku tetapi juga dalam pendayagunaan buku pelajaran tersebut dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan. Kecenderungan sekolah untuk mengganti buku setiap tahun ajaran baru semakin memberatkan orang tua siswa. Selain itu juga menimbulkan pemborosan yang tidak perlu, karena buku yang ada di sekolah tidak dapat dimanfaatkan oleh siswa tahun berikutnya. Pada SMP Terbuka, buku modul yang merupakan sumber belajar utama masih sangat kurang sehingga menganggu proses belajar mandiri. Kekurangan juga terjadi pada media penunjang yang lain, seperti laboratorium, ruang UKS, dan penunjang pembelajaran bahasa, terutama bahasa Inggris dan pendidikan jasmani dan kesehatan. Hal lain dalam kaitannya sarana dan prasarana pendidikan adalah penggunaan dan pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi (information and communication technology/ICT). Walaupun masih dalam lingkup yang terbatas, pendidikan di Indonesia sudah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), terutama dalam pengelolaan dan pembelajaran. Pendidikan kejuruan yang dikelola oleh Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan (Dikmenjur) Depdiknas, misalnya, telah merintis sistem pengelolaan dan materi pembelajaran untuk siswa SMK yang disesuaikan dengan kebutuhan keterampilan oleh industri. Program komputerisasi dimulai sejak tahun 1980, dan menargetkan semua SMK di Indonesia sudah terhubung ke internet pada tahun 2006. Program yang sudah dilaksanakan hingga 2004 ialah (a) jaring internet yang menghubungkan 784 SMK; (b) jaringan info sekolah di 137 kabupaten/kota; (c) 31 wide area network di 31 kabupaten/kota; (d) 44 ICT center di 44 kabupaten/kota; (e) 8 mobile training unit di 8 lokasi; dan (f) pemetaan sekolah (school mapping) yang telah dikembangkan oleh 271 SMK di seluruh tanah air. Selain itu, Pusat Teknologi Komunikasi (Pustekom) juga telah mengembangkan bahan belajar berbasis TIK, antara lain (a) lebih dari 2000 judul program video pembelajaran; (b) lebih dari 5000 judul program audio pembelajaran; dan (c) lebih dari 500 judul bahan belajar berbasis computer dan internet. Program tersebut telah dimanfaatkan oleh lebih dari 30.000 sekolah jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK atau yang sederajat. Media siaran televisi juga telah dimanfaatkan untuk melayani kebutuhan pendidikan seluruh jenjang dan jalur pendidikan. TV Edukasi yang dapat menjangkau 80 kabupaten/kota (11.500.000 pemirsa), telah diresmikan pada tahun 2004. Secara umum, pemanfaatan TIK di Indonesia masih sangat tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Indikasi mengenai hal ini dapat dilihat dengan data kepemilikan PC pada tahun 2003 masih sangat rendah, yaitu baru mencapai 1,2 per 100 orang, sementara Hongkong sudah mencapai 42,2; Jepang 38,2; Korea 55,8; Kuwait 16,1; Malaysia 16,7; Singapore 62,2; Taiwan 47,1; Thailand 4,0; dan China 2,7. Dari jumlah pemakai internet, Indonesia (2,5 juta) masih berada di bawah India (7,5 juta), Korea (26,7 juta), Malaysia (4,2 juta), dan Taiwan (10,6 juta). Dari jumlah pemasang situs internet, Indonesia (62 juta) masih berada di bawah China (160 juta), Hongkong (591 juta), India (86 juta), Korea (3822 juta), dan Malaysia (107 juta). Ketertinggalannya dalam pendayagunaan TIK merupakan isu kebijakan penting pembangunan pendidikan Indonesia. Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, perlu diperluas dan diintensifkan pemanfaatan TIK di bidang pendidikan: pertama, untuk dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan pendidikan melalui otomatisasi pendataan, pengelolaan, dan perkantoran; kedua, pendayagunaan TIK baik sebagai materi kurikulum maupun sebagai media dalam proses pembelajaran interaktif. Faktor lain yang berkaitan dengan peningkatan mutu dan daya saing adalah anggaran pendidikan yang belum memadai, baik ketersediaannya maupun dalam efisiensi pengelolaannya. Pembangunan pendidikan selama lima tahun terakhir (2000- 2004) sudah mendapat prioritas tertinggi dalam pembangunan nasional yang ditunjukkan oleh penyediaan anggaran pembangunan dengan porsi terbesar dibandingkan dengan bidang-bidang pembangunan lainnya. Komitmen Pemerintah dalam melaksanakan UUD 1945 dan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam alokasi anggaran pendidikan dari APBN/APBD, dan penyelenggaraan pendidikan dasar tanpa memungut biaya secara bertahap mulai diwujudkan. Namun, anggaran tersebut baru mencapai 9,2% dari APBN yang dibelanjakan oleh pemerintah pusat. Anggaran tersebut juga belum termasuk anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah daerah melalui APBD. Pemerintah dan pemerintah daerah juga belum mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara cuma-cuma. Apabila dibandingkan negara-negara lain, alokasi anggaran pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Data laporan Human Development Indeks (2004) mengungkapkan dalam kurun waktu 1999-2001 Indonesia hanya mengalokasikan anggaran pemerintah (public expenditure) sebesar 1,3% dari produk domestik bruto (PDB). Sementara itu dalam kurun waktu yang sama, Malaysia, Thailand, dan Filipina secara berturut-turut telah mengalokasikan 7,9%, 5,0%, dan 3,2% dari PDB-nya masingmasing. Namun Susenas 2003 mengungkapkan bahwa rata-rata pengeluaran per kapita untuk pendidikan telah mencapai 2,2% untuk daerah perdesaan dan 4,5% untuk daerah perkotaan atau rata-rata nasional sebesar 3,5%. Kontribusi masyarakat dalam penyediaan anggaran pendidikan masih lebih besar dari kontribusi anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini menunjukkan sebuah potensi besar jika 20% dari APBN/APBD dapat diwujudkan. Satuan-satuan pendidikan dan pemerintah kabupaten/kota lebih banyak mengalokasikan sebagian anggaran untuk gaji guru, sementara biaya operasi satuan pendidikan di luar gaji hanya mencapai paling tinggi 5—10%. Akibatnya, pembiayaan untuk sarana pembelajaran, biaya pembelajaran, pengembangan staf, dan biaya perawatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah sangat kecil sehingga tidak menunjang upaya peningkatan mutu dan relevansi. Variasi antardaerah dan satuan pendidikan mengenai pengeluaran biaya pendidikan, termasuk dalam pembiayaan untuk gaji dan di luar gaji masih sangat besar sehingga menimbulkan potensi ketidakadilan dalam pemerataan kesempatan belajar yang bermutu. Salah satu sebab rendahnya mutu lulusan adalah belum efektifnya proses pembelajaran. Proses pembelajaran selama ini masih terlalu berorientasi terhadap penguasaan teori dan hafalan dalam semua bidang studi yang menyebabkan kemampuan belajar peserta didik menjadi terhambat. Metode pembelajaran yang terlalu berorientasi pada guru (teacher oriented) cenderung mengabaikan hak-hak dan kebutuhan, serta pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga proses pembelajaran yang menyenangkan, mengasyikkan, dan mencerdaskan menjadi kurang optimal. Muatan belajar yang terlalu terstruktur dan sarat beban juga mengakibatkan proses pembelajaran di sekolah menjadi steril dengan keadaan dan perubahan lingkungan fisik dan sosial di lingkungan. Keadaan ini menjadikan proses belajar menjadi rutin, tidak menarik, dan tidak mampu memupuk kreativitas murid, guru dankepala sekolah untuk mengembangkan pendekatan pembelajaran yang inovatif. Persoalan tersebut ditambah dengan terlalu dominannya pengembangan otak kiri peserta didik, sehingga otak kanan menjadi kurang optimal sehingga gagasan kreatif dan inovatif dari peserta didik menjadi tumpul. Rendahnya kualitas pembelajaran terjadi pada hamper semua jenjang dan jenis pendidikan dapat menyebabkan rendahnya angka efisensi pendidikan, angka mengulang kelas dan putus sekolah yang masih tinggi. Gambar 3.5 Grafik 3.5 menunjukkan bahwa angka mengulang kelas pada SD kelas awal cukup tinggi, yaitu 7,92%. Kondisi ini menunjukkan bahwa kesiapan memasuki SD masih rendah. Dilihat kecenderungan angka mengulang kelas menurut tingkat, makin tinggi tingkat kelas makin rendah angka mengulang kelas di SD. Walaupun menunjukkan kecenderungan yang makin menurun setiap tiga tahun terakhir ini sekitar 700.000 siswa/i SD/MI dan 270.000 siswa/I SMP/MTs putus sekolah setiap tahun. Grafik 3.6 ANGKA PUTUS SEKOLAH MENURUT JENJANG PENDIDIKAN DAN JENIS KELAMIN TAHUN 2004 Grafik 3.6 menunjukkan bahwa makin tinggi jenjang pendidikan makin tinggi angka putus sekolah, sehingga makin rendah angka efisiensi pengelolaan pendidikan. Dilihat dari perspektif gender, angka putus sekolah anak laki-laki memiliki kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Faktor yang turut berpengaruh terhadap rendahnya efisiensi pendidikan adalah rendahnya kemampuan pengelolaan berbagai masukan pendidikan baik dalam menjalankan proses pembelajaran maupun dalam pengelolaan pendidikan secara keseluruhan, baik pada tingkat satuan pendidikan maupun pada pengelola pendidikan yang ada di atasnya. Hal ini dilihat dari lemahnya fungsi supervisi pendidikan, baik yang dilakukan oleh tenaga fungsional seperti pengawas sekolah untuk tingkat SD dan/atau pengawas bidang studi untuk tingkat SMP dan SMA/SMK, maupun supervisi oleh kepala sekolah sebagai manajer sekolah. Kelemahan pada aspek perencanaan, kegiatan pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar tidak termonitoring secara efektif oleh para supervisor, sehingga kelemahan-kelemahan pada proses pembelajaran tidak dapat teridentifikasi secara akurat. Sementara itu, rendahnya mutu hasil belajar ditandai oleh standar kelulusan yang ditetapkan, yaitu 4,25 dari skala 10. Ini berarti bahwa seorang siswa dinyatakan lulus apabila yang bersangkutan mampu menyerap mata pelajaran sebesar 4,25%. Dengan standar kelulusan yang rendahpun masih banyak siswa yang tidak lulus. Pada Ujian Nasional 2005 pada tingkat SMA/MA ketidaklulusan mencapai 20,6%, SMK 22,2%, dan SMP/MTs/SMP Terbuka 13,4%. Walaupun angka ketidaklulusan ujian nasional (UN) tahun 2004/2005 lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2003/2004, namun sesungguhnya bila dilihat dari nilai ratarata yang dicapai terdapat peningkatan yang cukup berarti yakni dari 5,55 tahun 2003/2004 menjadi 6,76 pada tahun 2004/2005. Grafik 3.7, menunjukkan peningkatan nilai UN pada ketiga mata pelajaran, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Grafik 3.7 Nilai Ujian Nasional SMA Program IPATahun 2003/2004 dan 2004/2005 Mutu akademik antarbangsa melalui programme for international student assessment (PISA) 2003 menunjukkan bahwa dari 41 negara yang disurvei, untuk bidang IPA, Indonesia menempati peringkat ke-38, sementara untuk bidang matematika dan kemampuan membaca menempati peringkat ke-39. Jika dibandingkan dengan Korea, peringkatnya sangat jauh, untuk bidang IPA menempati peringkat ke-8, membaca peringkat ke-7 dan matematika peringkat ke-3. Mutu pendidikan non-akademik juga masih bermasalah yang dapat dilihat dari perilaku dan sikap peserta didik dalam kehidupan sosial, baik saat berada di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Dari jumlah kasus yang ada, seperti perkelahian masal, prilaku kesopanan, dan tata kehidupan lainnya, belum mencerminkan nilai-nilai budaya dan norma-norma yang berlaku. Walaupun mutu lulusan pada semua jenjang pendidikan masih rendah, namun sesungguhnya potensi peserta didik kita cukup tinggi, hal ini ditandai oleh berhasilnya siswa-siswa kita meraih berbagai kejuaraan dalam olimpiade international bidang sains dan matematika. Berdasarkan data asal sekolah peserta yang berhasil menjadi juara olimpiade, ternyata pada umumnya mereka berasal dari sekolah-sekolah yang memiliki sistem pembinaan yang baik dan ditunjang oleh guru-guru yang berkualitas. Hal ini menunjukkan bahwa potensi peserta didik kita memiliki potensi yang baik, tetapi karena ditangani oleh suatu proses pembelajaran yang kurang berkualitas dan belum optimal ditunjang dengan prasarana dan sarana pendidikan, maka mutu lulusannya pada umumnya masih rendah. Jika dilihat dalam konteks kemanfaatannya, mutu pendidikan harus dikaitkan dengan isu relevansi pendidikan. Pendidikan yang memiliki kekuatan daya saing ditandai dengan mutu pembelajaran dalam program-program pendidikan yang amat dibutuhkan oleh masyarakat. Keunggulan dan daya saing pendidikan Indonesia yang dikaitkan dengan produktivitas tenaga kerja lulusan pendidikan, Indonesia berada posisi 12 dari 12 negara di Asia (political and economic risk consultancy/PERC, 2001). Pemeringkatan internasional tersebut telah menilai sistem pendidikan Indonesia yang kurang relevan dengan kebutuhan pembangunan. Isu PERC yang mengaitkan kualitas pendidikan dengan mutu tenaga kerja sebagai salah satu faktor ekonomi telah menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mengembangkan kualitas dan produktivitas pekerja. Dalam kaitannya dengan relevansi pendidikan, perspektif analisis ekonomi dan ketenagakerjaan terhadap pendidikan tetap diperlukan, namun belum lengkap atas dasar perspektif pembentukan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Analisis ini diarahkan pada keseimbangan struktural antara struktur ekonomi dan ketenagakerjaan di satu pihak dengan struktur pendidikan di lain pihak. Sistem pendidikan dianggap relevan jika memiliki keseimbangan secara struktural dengan sistem ekonomi dan ketenagakerjaan. Artinya, bahwa lulusan pendidikan memiliki kesesuaian dengan kebutuhan ekonomi akan pekerja sebagai pelaku pembangunan di berbagai sektor. Keseimbangan struktural tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.8 dan Tabel 3.9. Tabel 3.8 Perkiraan Produk Domestik Bruto (%) Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2004-2010 Lapangan Usaha 2004 2005 2007 2009 1. Pertanian 0.15 0.15 0.14 0.13 2. Pertambangan 0.09 0.08 0.08 0.07 3. Manufaktur 0.26 0.26 0.26 0.27 4. Utilitas 0.02 0.02 0.02 0.02 5. Bangunan 0.06 0.06 0.06 0.07 6. Perdagangan 0.16 0.16 0.16 0.17 7. Pengangkutan dan Komunikasi 0.09 0.09 0.10 0.11 8. Keuangan 0.07 0.08 0.08 0.08 9. Jasa-Jasa 0.09 0.09 0.09 0.09 PDB 1.00 1.00 1.00 1.00 Sumber: diolah dari indikator ekonomi BPS Dalam kurun waktu lima tahun ke depan, walaupun perubahan kontribusi sektoral terhadap produk domestik bruto (PDB) sangat kecil, namun dalam jangka panjang perubahan struktur PDB tersebut cenderung mengarah pada penguatan industri. Kecenderungan ini tampak sedikitnya dari kontribusi sektor-sektor sekunder dan tersier yang semakin tinggi, seperti: industri pengolahan (26% menjadi 27%); hotel dan restoran (16% ke 17%); pengangkutan dan komunikasi (9% menjadi 11%), dan keuangan (7% menjadi 8%). Sementara itu, kontribusi sector primer, seperti sektor pertanian, terus menurun dari 43% menjadi 39% dalam kurun waktu yang sama. Penguatan struktur industri dari sisi produk domestik bruto (PDB) tidak diikuti secara seimbang dengan terjadinya penguatan struktur angkatan kerja. Kontribusi sektor primer dalam penyerapan angkatan kerja nasional masih dominan, yaitu 43% dan menurun sedikit menjadi 39% dalam lima tahun ke depan. Di lain pihak, industry pengolahan sebagai penyumbang terbesar terhadap PDB hanya mampu menyerap tenaga kerja 14% saja, sementara sektor pertanian yang menyumbang hanya 14% terhadap PDB menyerap angkatan kerja paling besar. Data ini menunjukkan adanya ketimpangan struktural, antara ekonomi Indonesia yang sudah mulai berstruktur industri yang tidak diimbangi dengan nilai-nilai kultur masyarakat Indonesia yang masih didominasi oleh sektor agraris dan tradisional. Struktur ekonomi dan nilai kultur pada masyarakat Indonesia yang masih dominan agraris ini masih dicirikan dengan gejala-gejala ketimpangan secara structural dan kultural. Sektor-sektor pertanian, perdagangan, dan jasa di Indonesia masih berciri subsisten, dan padat karya (labor intensive) yang diandalkan sebagai sektor penyerap terbesar angkatan kerja berpendidikan rendah. Produktivitas pekerja sektor subsisten ini jauh lebih rendah daripada mereka yang bekerja di sektor industri. Sementara itu, sektor-sektor modern (industri pengolahan, pertambangan, dan komunikasi, serta jasa) lebih bersifat padat modal (capital intensive) sehingga lebih membutuhkan pekerja berkeahlian khusus dan profesional. Walaupun nilai upah rata-rata para pekerja sector moderen jauh lebih tinggi namun jumlahnya belum dominan dibandingkan dengan jumlah pekerja sektor subsisten. Struktur ekonomi Indonesia yang dominan agraris dan kurang produktif ini menjadi faktor terbesar lambannya pertumbuhan ekonomi nasional. Tabel 3.9 Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja (%) Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005-2009 Sektor Industri 2004 2005 2007 2009 1. Pertanian 0.43 0.43 0.41 0.39 2. Pertambangan 0.01 0.01 0.01 0.01 3. Manufaktur 0.13 0.13 0.14 0.14 4. Utilitas 0.00 0.00 0.00 0.00 5. Bangunan 0.05 0.05 0.05 0.05 6. Perdagangan 0.19 0.19 0.20 0.20 7. Pengangkutan dan Komunikasi 0.06 0.06 0.06 0.07 8. Keuangan 0.01 0.01 0.02 0.02 9. Jasa-Jasa 0.12 0.12 0.13 0.13 Jumlah 1.00 1.00 1.00 1.00 Sumber : diolah dari indikator ekonomi BPS Atas dasar permasalahan itu, perluasan dan pemerataan pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat harus ditempatkan pada prioritas tertinggi dalam pembangunan pendidikan. Mutu dan relevansi pendidikan tercermin dari kemampuan membentuk kecakapan (competencies) lulusan agar dapat menjadi pekerja produktif dengan upah yang lebih tinggi. Kesempatan pendidikan keahlian, keterampilan dan profesi harus besar dan merata dikaitkan dengan sentra-sentra pengembangan ekonomi industri, pendayagunaan Iptek, dan peningkatan kecakapan hidup yang sesuai dengan prinsip belajar sepanjang hayat. Salah satu dampak rendahnya kualitas pendidikan adalah rendahnya kemampuan wirausaha dari lulusannya. Lulusan pendidikan menengah dan tinggi masih cenderung memilih bekerja pada orang lain dibanding menciptakan pekerjaan secara mandiri. Data menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan penduduk semakin besar proporsi yang bekerja sebagai pekerja, buruh, atau karyawan. Dari seluruh lulusan PT yang bekerja sebagai pekerja, buruh atau karyawan mencapai bsekitar 83,1%. Sebaliknya, pekerjaan yang mandiri lebih banyak diciptakan oleh pekerja yang berpendidikan rendah (lulusan SD dan SMP sekitar 21,3% dan 22,4%) (Susenas, BPS, 2004). Tabel 4.0 Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu Menurut Status Pekerjaan Utama dan Pendidikan yang Ditamatkan (2004) No. Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Berusaha Sendiri Tanpa Dibantu Berusaha Sendiri Dengan Dibantu Berusaha Dengan Buruh Tetap Pekerja/ Buruh/ Karyawan Pekerja Bebas Pertanian Pekerja Bebas Non- Pertanian Pekerja Tidak Dibayar 1 T/BPS 18,7 39,0 1,9 4,5 9,1 2,1 24,7 2 T/BT SD 20,8 33,0 2,5 8,9 8,8 3,5 22,5 3 SD 21.3 27,4 2,8 14,8 6,1 5,3 22,2 4 SMP 22,7 19,5 3,6 27,0 3,2 4,7 19,3 5 SMA 16,7 12,2 4,2 52,7 0,8 2,4 10,9 6 SMK 13,8 8,3 3,8 64,0 0,4 2,5 7,2 7 Diploma I/II 5,1 2,7 1,4 88,9 0,0 0,0 1,9 8 Diploma III 6,3 3,4 3,7 82,0 0,1 0,3 4,1 9 Universitas 5,8 3,4 4,9 83,1 0,0 0,5 2,2 Jumlah 19,5 23,0 3,2 27,2 4,7 4,0 18,5 Kegiatan penelitian dan pengembangan serta publikasi hasil-hasilnya masih sangat terbatas. Di samping itu proses transfer pengetahuan dan teknologi juga mengalami hambatan karena masih terbatasnya buku-buku teks dan jurnal-jurnal internasional yang dapat diakses. Dengan kualitas dan kuantitas hasil penelitian danpengembangan yang belum memadai, sangat sedikit hasil penelitian dan pengembangan yang dapat diterapkan oleh masyarakat dan masih sedikit pula yang sudah dipatenkan hak kekayaan intelektualnya. B. Upaya-upaya Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing di masa depan diharapkan dapat memberikan dampak bagi perwujudan eksistensi manusia dan interaksinya sehingga dapat hidup bersama dalam keragaman sosial dan budaya. Selain itu, upaya peningkatan mutu dan relevansi dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat serta daya saing bangsa. Mutu pendidikan juga dilihat dari meningkatnya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai humanisme yang meliputi keteguhan iman dan takwa serta berakhlak mulia, etika, wawasan kebangsaan, kepribadian tangguh, ekspresi estetika, dan kualitas jasmani. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan diukur dari pencapaian kecakapan akademik dan nonakademik yang lebih tinggi yang memungkinkan lulusan dapat proaktif terhadap perubahan masyarakat dalam berbagai bidang baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Kebijakan peningkatan mutu pendidikan diarahkan pada pencapaian mutu pendidikan yang semakin meningkat yang mengacu pada standar nasional pendidikan (SNP). SNP meliputi berbagai komponen yang terkait dengan mutu pendidikan mencakup standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Pemerintah mendorong dan membimbing satuan-satuan dan program (studi) pendidikan untuk mencapai standar yang diamanatkan oleh SNP. Standar-standar tersebut digunakan juga sebagai dasar untuk melakukan penilaian terhadap kinerja satuan dan program pendidikan, mulai dari PAUD, Dikdas, pendidikan menengah (Dikmen), PNF , sampai dengan pendidikan tinggi (Dikti). Peningkatan mutu pendidikan semakin diarahkan pada perluasan inovasi pembelajaran baik pada pada pendidikan formal maupun nonformal dalam rangka mewujudkan proses yang efisien, menyenangkan dan mencerdaskan sesuai tingkat usia, kematangan, serta tingkat perkembangan peserta didik. Pengembangan proses pembelajaran pada PAUD serta kelaskelas rendah sekolah dasar lebih memperhatikan prinsip perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak anak dengan lebih menekankan pada upaya pengembangan kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual dengan prinsip bermain sambil belajar. Peningkatan mutu pendidikan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi semakin memperhatikan pengembangan kecerdasan intelektual dalam rangka memacu penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di samping memperkokoh kecerdasan emosional, sosial, dan spritual peserta didik. Upaya peningkatan mutu dan relevansi pendidikan secara berkelanjutan akan dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan secara terpadu yang pengelolaannya dikoordinasikan secara terpusat. Dalam pelaksanaannya koordinasi tersebut didelegasikan kepada gubernur atau aparat vertikal yang berkedudukan di provinsi. Manajemen mutu tersebut akan dilaksanakan melalui kebijakan strategis sebagai berikut. : 1. Mengembangkan dan menetapkan standar nasional pendidikan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai dasar untuk melaksanakan penilaian pendidikan, peningkatan kapasitas pengelolaan pendidikan, peningkatan sumberdaya pendidikan, akreditasi satuan dan program pendidikan, serta upaya penjaminan mutu pendidikan. 2. Melaksanakan evaluasi pendidikan melalui ujian sekolah oleh sekolah dan ujian nasional yang dilakukan oleh sebuah badan mandiri yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Ujian nasional mengukur ketercapaian kompetensi siswa/ peserta didik berdasarkan standar kompetensi lulusan yang ditetapkan secara nasional ( benchmark). Hasil ujian nasional tidak merupakan satu-satunya alat untuk menentukan kelulusan siswa pada setiap satuan pendidikan tetapi terutama sebagai sarana untuk melakukan pemetaan dan analisis mutu pendidikan yang dimulai dari tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi sampai tingkat nasional. 3. Melaksanakan penjaminan mutu (quality assurance) melalui suatu proses analisis yang sistematis terhadap hasil ujian nasional dan hasil evaluasi lainnya yang dimaksudkan untuk menentukan faktor pengungkit dalam upaya peningkatan mutu, baik antar satuan pendidikan, antar kabupaten/kota, antarprovinsi, atau melalui pengelompokan lainnya. Analisis dilakukan oleh Pemerintah bersama pemerintah provinsi yang secara teknis dibantu oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) pada masing-masing wilayah. Berdasarkan analisis itu, diberikan intervensi terhadap satuan dan program (studi) pendidikan di antaranya melalui: pendidikan dan pelatihan terutama pengembangan proses pembelajaran efektif, pemberian bantuan teknis, pengadaan dan pemanfaatan sumberdaya pendidikan, serta pemanfaatan ICT dalam pendidikan. Di samping itu untuk mempercepat tercapainya pemerataan mutu pendidikan dilakukan pemberian bantuan yang diarahkan pada satuan pendidikan yang belum mencapai standar nasional. 4. Melakukan tindakan afirmatif dengan memberikan perhatian lebih besar pada satuan pendidikan yang kualitasnya rendah, baik dilihat dari input, proses, maupun outputnya. 5. Melaksanakan akreditasi satuan dan/atau program pendidikan untuk menentukan status akreditasinya masing-masing. Penilaian dilakukan setiap lima tahun dengan mengacu pada SNP. Akreditasi juga dapat menggunakan rata-rata hasil ujian nasional dan/atau ujian sekolah sebagai dasar pertimbangan dalam penentuan status akreditasi tersebut. Hasil akreditasi dijadikan sebagai landasan untuk melakukan program pengembangan kapasitas dan peningkatan mutu setiap satuan atau program pendidikan. Pelaksanaan akreditasi ini dilakukan secara independen oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), Badan Akreditasi Nasional Sekolah dan Madrasah (BAN-SM), dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal (BAN-PNF). Kebijakan untuk peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan dilakukan melalui penguatan program-program sebagai berikut: 1. Implementasi dan penyempurnaan SNP dan penguatan peran Badan SNP; merupakan Kebijakan strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dengan adanya SNP dan BSNP, penataan berbagai aspek yang menunjang perbaikan mutu akan disusun, diuji coba dan diterapkan serta dikembangkan secara bertahap pada setiap satuan, jenis, jenjang, dan jalur pendidikan nasional. 2. a. Pengawasan dan penjaminan mutu secara terprogram dengan mengacu pada SNP; untuk mewujudkan sistem pengawasan dan penjaminan mutu secara berkelanjutan. Karena itu perlu dikembangkan dan dikelola mekanisme pengawasan dan pengendalian mutu pendidikan yang mengacu pada standar nasional pendidikan. Kegiatan utamanya antara lain: pembentukan BAN-SM, BAN-PNF, BAN-PT; menyusun dan menetapkan mekanisme pengawasan dan penjaminan mutu pendidikan; menyusun dan menetapkan mekanisme pengawasan; evaluasi; dan ujian nasional untuk mengukur ketercapaian standar pendidikan yang telah ditetapkan; serta pengembangan kapasitas pengelolaan pendidikan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, serta satuan pendidikan. 2. b.Survai mutu pendidikan terhadap standar internasional; bertujuan untuk membandingkan kemampuan peserta didik Indonesia dengan anak di negaranegara lain dalam kemampuan/keterampilan matematika, sains, dan membaca sehingga mutu dan daya saing tingkat internasional peserta didik dapat ditingkatkan secara kompetitif. 3. Perluasan dan peningkatan mutu akreditasi oleh BAN-SM, BAN-PNF dan BAN-PT; akreditasi merupakan kebijakan strategis dalam penilaian kelayakan program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dalam rangka peningkatan mutu dan relevansi pendidikan di setiap satuan pendidikan, kabupaten/kota, dan provinsi. Hasil penilaian akreditasi digunakan sebagai salah satu faktor untuk menentukan bentuk dan besarnya bantuan yang perlu diberikan kepada satuan pendidikan dan pemerintah daerah. 4. a. Pengembangan guru sebagai profesi; merupakan kebijakan yang strategis dalam rangka membenahi persoalan guru secara mendasar. Sebagai tenaga profesional, guru harus memiliki sertifikat profesi dari hasil uji kompetensi. Sesuai dengan usaha dan prestasinya, guru akan memperoleh imbal jasa, insentif, dan penghargaan, atau sebaliknya, disinsentif atas tidak terpenuhinya standar profesi oleh seorang guru. Pendidikan profesi guru dan sistem sertifikasi profesi pendidik akan dikembangkan baik untuk calon guru ( ) maupun untuk guru yang sudah bekerja ( ). Standar profesi guru akan dikembangkan sebagai dasar bagi penilaian kinerja guru yang dilakukan secara berkelanjutan atas dasar kinerjanya baik pada tingkat kelas maupun satuan pendidikan. 4. b. Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan nonformal; kebijakan yang strategis dalam rangka membenahi persoalan pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan nonformal. Sebagai tenaga profesional yang harus memiliki sertifikat profesi dari hasil uji kompetensi, sesuai dengan usaha dan prestasinya untuk memperoleh imbal jasa, insentif, dan penghargaan, atau sebaliknya, disinsentif atas tidak terpenuhinya standar profesi. Standar profesi pendidik dan tenaga kependidikan nonformal (tutor dan tenaga lapangan pendidikan nonformal) akan dikembangkan sebagai dasar bagi pembinaan dan pengembangan serta penilaian kinerjanya, yang dilakukan secara berkelanjutan 5. Pengembangan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan; peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan dilaksanakan dengan pemetaan profil kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dikaitkan dengan SNP, analisis kesenjangan kompetensi, serta penyusunan program dan strategi peningkatan kompetensi menuju pada tercapainya SNP. 6. Perbaikan dan pengembangan sarana dan prasarana; merupakan kegiatan strategis yang ditujukan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan yang rusak terutama pada Dikdas untuk meningkatkan keamanan/keselamatan, kenyamanan, dan kualitas proses pembelajaran. Untuk mencapai mutu pendidikan sesuai dengan standar nasional pendidikan dikembangkan sarana dan prasarana pendidikan terutama buku pelajaran dan buku penunjang laboratorium, perpustakaan, ruang praktek, sarana olah raga, sarana ibadah, dan sarana pendidikan lainnya. 7. Perluasan pendidikan kecakapan hidup; merupakan kegiatan strategis dalam peningkatan mutu dan relevansi pendidikan yang mencakup pengembangan pendidikan kecakapan hidup yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dalam rangka pengembangan kompetensi, kepribadian, kewarganegaraan, intelektual, estetika, dan kinestik pada berbagai satuan, jenis, jenjang, dan jalur pendidikan. Tujuannya agar keluaran pendidikan memiliki keterampilan untuk menghadapi tantangan kehidupan yang terus berkembang secara mandiri. 8. Pengembangan sekolah berbasis keunggulan lokal di setiap kabupaten/kota; perluasan satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal oleh pemerintah daerah dilaksanakan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang secara bertahap akan dikembangkan pada setiap provinsi dan kabupaten/kota. Dalam lima tahun ke depan, diharapkan terdapat sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan di setiap jenis, jenjang, dan jalur pendidikan di setiap kabupaten/kota. 9. Pembangunan sekolah bertaraf internasional di setiap provinsi/kabupaten /kota; untuk meningkatkan daya saing bangsa, perlu dikembangkan sekolah bertaraf internasional pada tingkat kabupaten/kota melalui kerja sama yang konsisten antara Pemerintah dengan pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan, untuk mengembangkan SD, SMP, SMA dan SMK yang bertaraf internasional sebanyak 112 unit di seluruh Indonesia. 10. Mendorong jumlah jurusan di PT yang masuk dalam 100 besar Asia atau 500 besar Dunia; melalui investasi yang signifikan pada sumber-sumber daya pendidikan yang utama seperti dosen, laboratorium, penelitian dan pengembangan, publikasi, perpustakaan yang memadai, serta manajemen pelayanan yang efektif dan akuntabel, sehingga pada tahun 2009 jumlah jurusan yang masuk dalam 100 besar di Asia atau 500 besar dunia dapat dicapai. 11. Akselerasi jumlah program studi kejuruan, vokasi, dan profesi; investasi dilakukan untuk pengembangan satuan pendidikan pada perguruan tinggi dan sekolah-sekolah menengah kejuruan, dan pendidikan nonformal. Pendidikan kejuruan, advokasi, profesi membutuhkan kualifikasi kompetensi untuk memasuki pasar tenaga kerja, sehingga perlu ada penguatan agar selalu dapat mengacu dan memenuhi tuntutan lapangan kerja, standar kualifikasi kerja, profesionalisme, dan produktifitas kerja yang terus berkembang dalam memenuhi standar nasional dan internasional. 12. a. Peningkatan jumlah dan mutu publikasi ilmiah dan HAKI; kegiatan ini berkaitan dengan peran perguruan tinggi yang memiliki otonomi keilmuan dengan melakukan penelitian dan pengembangan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perguruan tinggi didorong untuk mampu memberikan pemikiran dantemuan/inovasi yang bermanfaat, baik untuk kepentingan pembangunan maupun untuk pengembangan pengetahuan. 12.b. Peningkatan kreativitas, , dan kepemimpinan mahasiswa; Pemberian bekal kepemimpinan serta jiwa interpreneur yang memadai bagi mahasiswa yang mandiri untuk menghadapi tantangan dan kemajuan iptek, serta peka terhadap peluang dan perubahan 13. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan; kegiatan ini berupa pengembangan sistem, metode, dan materi pembelajaran dengan menggunakan TIK. Kegiatan ini juga akan mengembangkan sistem jaringan informasi sekolah, infrastruktur dan SDM untuk mendukung implementasinya, baik untuk kepentingan manajemen pendidikan maupun proses pembelajaran. Dengan menggunakan TIK dalam pendidikan siswa pada sekolah reguler, warga belajar pada pendidikan nonformal dan siswa yang memerlukan layanan pendidikankhusus, secara adil dapat memperoleh pendidikan yang bermutu dan relevan. Program strategis peningkatan mutu dan relevansi pendidikan secara keseluruhan dapat digambarkan pada grafik 3.2. Grafik 4.1 Mutu Pendidikan (2004) 1. Ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan serta kesejahteraannya yang belum memadai baik secara kuantitas maupun kualitas, 2. Prasarana dan sarana belajar yang terbatas dan belum didayagunakan secara optimal, 3. Pendanaan pendidikan yang belum memadai untuk menunjang mutu pembelajaran, serta 4. Proses pembelajaran yang belum efisien dan efektif. Upaya pengembangan SMK tentunya harus direncanakan secara komprehensif sehingga pengembangan tersebut tidak hanya menyangkut kuantitas tetapi juga harus menyangkut kualitas, produktifitas, dan relevansi agar tujuan sebenarnya dari pengembangan tersebut dapat diwujudkan. Upaya pengembangan SMK hingga mencapai 70 % dibandingkan dengan SMU, tentunya akan membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dibidangnya, sehingga pengelolaan SMK akan mencapai efisiensi dan efektivitas yang tinggi. Dalam tataran mikro, diantara sumber daya manusia yang sangat dibutuhkan pada kegiatan pembelajaran di SMK adalah guru. Secara sistemik, output berkaitan erat dengan proses, dan proses terkait dengan input, sehingga kualitas proses akan berimplikasi langsung terhadap kualitas hasil. Berdasarkan hal tersebut, upaya peningkatan mutu lulusan SMK berkaitan erat dengan peningkatan mutu proses pembelajaran, dengan guru merupakan salah satu instrumental input dominannya. Dengan demikian peningkatan guru baik secara kualitas dan kuantitas merupakan keharusan untuk memecahkan masalah kualitas pendidikan yang terjadi saat ini. Upaya peningkatan guru tersebut sejalan dengan permasalahan pada guru itu sendiri. Dikaitkan dengan data tahun 2004 - 2005 permasalahan guru khususnya di SMK diantaranya : 1. jumlah pendidik dan tenaga kependidikan belum memadai (masih kekurangan 11.502 orang), 2. Distribusi guru yang tidak merata dan menumpuk di daerah-daerah perkotaan, 3. Kualifikasi dan kompetensi yang belum memenuhi standar nasional pendidikan (35,51% berijazah dibawah D4/S1), 4. Masih banyaknya guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keahliannya (mismatch) (43,3% diindikasikan tidak layak mengajar), dan 5. Terbatasnya kemampuan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan guru (PNS). Guru sebagai input dominan yang berfungsi sebagai agen perubahan pembelajaran yang profesional, sesuai dengan Undang-Undang Guru dan Dosen dan juga Standar Nasional Pendidikan setidaknya harus memiliki tiga pilar yaitu (1) kualifikasi, (2) kompetensi agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional serta memiliki (3) sertifikat. Dengan demikian guru harus memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan, kompetensi yang terstandar, dan mampu mendukung dan menyelenggarakan pendidikan secara profesional sehingga akan menghasilkan mutu pendidikan yang baik. Pemetaan guru telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak, namun belum menggambarkan kebutuhan spesifik dalam pengembangan pendidikan berbasis keunggulan lokal. Input tenaga pendidik yang dibutuhkan dalam pengembangan pendidikan berbasis keunggulan lokal diantaranya meliputi relevansi antara kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi dengan potensi yang dimiliki oleh daerah dimana tenaga pendidik itu melaksanakan tugas. Guna menghasilkan data tenaga pendidik yang valid dan up to date sesuai dengan kebutuhan daerah setempat, dan dalam program pengembangan SMK secara nasional maka diperlukan studi pemetaan yang lebih spesifik yang dilakukan melalui studi ini. Program peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi akan dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan berikut. Peningkatan pelayanan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi. Penerapan otonomi keilmuan dimaksudkan untuk mendorong perguruan tinggi melaksanakan tugasnya sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta meningkatkan kualitas/kuantitas dan diversifikasi bidang penelitian di lingkungan perguruan tinggi. Pengembangan kurikulum dan pembelajaran efektif dalam kelompok mata kuliah: iman dan takwa serta akhlak mulia, Iptek, estetika, serta kepribadian. Kelompok mata kuliah iman dan takwa serta akhlak mulia dimaksudkan untuk meningkatkan potensi keimanan sehingga dapat memiliki ketakwaan personal dan sosial. Kelompok mata kuliah Iptek dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi pemanfaatan Iptek dan pengembangannya; kelompok mata kuliah/kegiatan estetika dimaksudkan untuk meningkatkan sensitifitas estetis dan humanisme; dan kelompok mata kuliah kepribadian dimaksudkan untuk mencerahkan kesadaran kepribadian. Peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, etika dan kepribadian, serta wawasan kebangsaan, diintegrasikan dalam proses pembelajaran semua mata kuliah. Pengembangan community college akan dilakukan untuk mengenalkan model pendidikan kejuruan/vokasi yang fleksibel menjawab kebutuhan pasar. Community college memfasilitasi eksistensi program kejuruan/vokasi berbasis keunggulan lokal, dengan penyediaan tenaga terampil untuk industri lokal, nasional, multi-nasional, serta pengembangan kewirausahaan. Pengembangan community college yang ada harus bersinergi dengan industri, politeknik, maupun lembaga pendidikan yang relevan. Selain itu didorong untuk peningkatan APK PT serta untuk mengurangi jumlah pengangguran pada kabupaten/kota atau provinsi bersangkutan. Target-target yang ingin dicapai dalam pelaksanaan program peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi adalah sebagai berikut. a. Peningkatan jumlah program studi di perguruan tinggi yang akreditasi A atau B, dari jumlah 1000 program studi pada tahun 2005 menjadi sebanyak 3000 program studi pada tahun 2009. Akan dikembangkan pula program studi/jurusan bertaraf internasional, dengan menargetkan tercapainya 32 program studi/jurusan sampai dengan tahun 2009, dengan memperhatikan kepentingan pengembangan ilmu, pelestarian budaya, serta persaingan keahlian di forum antarbangsa. Selain itu, untuk keperluan peningkatan efisiensi akan diupayakan agar tidak ada lagi perguruan tinggi yang jumlah mahasiswanya kurang dari 100 orang. b. Peningkatan efektivitas waktu studi sehingga angka kelulusan tepat waktu mencapai 80% untuk PTN dan 50% untuk PTS. c. Mengupayakan untuk tercapainya rasio keluaran terhadap jumlah mahasiswa (enrollment) secara keseluruhan menjadi 20% untuk program sarjana dan 30% untuk program diploma. d. Lama waktu tunggu lulusan dalam mencari dan mendapatkan pekerjaan untuk bidang-bidang keahlian tertentu diharapkan dapat dipersingkat, yaitu yang tidak lebih dari 6 bulan dapat mencapai 40%. e. Peningkatan kualitas daya saing di tingkat Asia dengan memunculkan minimal 4 perguruan tinggi yang masuk dalam 100 besar perguruan tinggi di Asia atau 500 besar perguruan tinggi dunia. f. Peningkatan status perguruan tinggi menjadi 50% yang berbadan hokum pendidikan tinggi negeri pada tahun 2009, dan 40% berbadan hukum pendidikan tinggi swasta. g. Penataan proporsi bidang ilmu IPA: IPS/Humaniora yang pada tahun 2004 berbanding sebagai (30:70) diupayakan untuk pada tahun 2009 menjadi (50:50) di lingkungan PTN dan (35:65) di lingkungan PTS. h. Peningkatan kualifikasi dosen berpendidikan S2/S3 yang baru mencapai 54,55% untuk PTN dan 34,50% untuk PTS pada tahun 2004, menjadi 85% untuk PTN dan 55% untuk PTS pada tahun 2009. Di samping itu jumlah guru besar yang baru mencapai 3% pada tahun 2004 diupayakan dapat mencapai 10% dari jumlah dosen yang ada pada PTN pada tahun 2009. i. Pelatihan tenaga teknis di perguruan tinggi pada jangka waktu 5 tahun ke depan diupayakan mencapai 100 jenis pelatihan fungsional, yang menjangkau 7.500 personil pendidikan tinggi dengan rincian 70% dari PTN dan 30% dari PTS. j. Pelaksanaan penelitian untuk 5 tahun ke depan diusahakan dapat mencapai 10% dari seluruh anggaran Ditjen Dikti, dan menghasilkan berbagai hak atas kekayaan intelektual termasuk permohonan patent mencapai 50 buah dan hak cipta mencapai 200 judul, baik di tingkat nasional maupun internasional, serta mendorong penelitian untuk penyelesaian masalah-masalah sosial. k. ICT literacy (kemampuan akses, memanfaatkan dan menggunakan radio, televisi, komputer dan internet) 80% untuk kalangan mahasiswa dan dosen. l. Pengendalian jumlah dan ragam program studi yang sesuai dengan kebutuhan di pendidikan tinggi. m. Pembangunan dan penambahan infrastruktur pendidikan tinggi sehingga tercapai pemenuhan kriteria rasio ruang kuliah 2m2 per mahasiswa, rasio ruang laboratium 9 m2 per mahasiswa, dan ruang dosen 9 m2 per dosen. n. Peningkatan kapasitas dan efektivitas layanan perpustakaan kepada citivas akademika kampus melalui peningkatan penyediaan bahan bacaan wajib mata kuliah mencapai 80% dari mata kuliah yang ditawarkan perguruan tinggi, dan layanan kepustakaan sekurang-kurangnya mencapai 40 jam per minggu C. RENSTRA KEMDIKNAS 2010-2014 Renstra Kemendiknas 2010-2014 mengacu pada visi RPJMN 2010-2014 yaitu Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan; arahan Presiden untuk memperhatikan aspek change and continuity, de-bottlenecking, dan enhancement program pembangunan pendidikan; serta Rencana Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang 2005--2025 yang telah dijabarkan ke dalam empat tema pembangunan pendidikan, yaitu peningkatan kapasitas dan modernisasi (2005-- 2009), penguatan pelayanan (2010--2015), penguatan daya saing regional (2015--2020), dan penguatan daya saing internasional (2020--2025). Renstra Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010-2014 disusun sebagai pedoman dan arah pembangunan pendidikan yang hendak dicapai dalam periode 2010--2014 dengan mempertimbangkan capaian pembangunan pendidikan hingga saat ini. Renstra Kemendiknas disusun melalui berbagai tahapan, termasuk interaksi dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan di pusat dan daerah, serta partisipasi seluruh pejabat Kemendiknas. Renstra Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014 merupakan dasar dan pedoman bagi Unit Eselon I, II dan Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional, dan sebagai acuan bagi SKPD Pendidikan di Provinsi dan Kab/Kota dalam menyusun (1) Rencana Strategis (Renstra); (2) Rencana Kerja (Renja); (3) Rencana/Program Pembangunan lintas sektoral bidang Pendidikan; (4) Koordinasi perencanaan dan pengendalian kegiatan Pembangunan lingkup Pendidikan Nasional; (5) Laporan Tahunan; dan (6) Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Landasan Filosofis Pendidikan Nasional Pendidikan merupakan upaya memberdayakan peserta didik untuk berkembang menjadi manusia Indonesia seutuhnya, yaitu yang menjunjung tinggi dan memegang dengan teguh norma dan nilai sebagai berikut: a. norma agama dan kemanusiaan b. norma persatuan bangsa c. norma kerakyatan dan demokrasi d. nilai-nilai keadilan sosial Paradigma Pendidikan 1. Pemberdayaan Manusia Seutuhnya 2. Pembelajaran Sepanjang Hayat Berpusat pada Peserta Didik 3. Pendidikan untuk Semua 4. Pendidikan untuk Perkembangan, Pengembangan, dan/atau Pembangunan Berkelanjutan (PuP3B) Landasan Hukum Landasan hukum Renstra Kemendiknas Tahun 2010--2014 adalah sebagai berikut. 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 3. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 4. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 5. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 6. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara 7. Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional 8. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 9. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen 10. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005--2025 11. Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan 12. Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan 13. Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pilar Strategis 1. Pendidikan Agama serta Akhlak Mulia 2. Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi 3. Proses Pembelajaran yang Mendidik dan Dialogis 4. Evaluasi, Akreditasi, dan Sertifikasi Pendidikan yang Memberdayakan 5. Peningkatan Profesionalitas Pendidik dan Tenaga Kependidikan 6. Penyediaan Sarana Belajar yang Mendidik 7. Pembiayaan Pendidikan sesuai dengan Prinsip Pemerataan dan Berkeadilan 8. Penyelenggaraan Pendidikan yang Terbuka dan Merata 9. Pelaksanaan Wajib Belajar 10. Pelaksanaan Otonomi Satuan Pendidikan 11. Pemberdayaan Peran Masyarakat 12. Pusat Pembudayaan dan Pembangunan Masyarakat 13. Pelaksanaan Pengawasan dalam Sistem Pendidikan Nasional KONDISI UMUM PENDIDIKAN A. Analisis Kondisi Internal Lingkungan Pendidikan Disparitas APK SD/MI/SDLB/Paket A antara kabupaten dan kota menurun dari 2,5% pada tahun 2004 menjadi 2,3% pada tahun 2008 dan diperkirakan turun menjadi 2,2% pada tahun 2009. Sementara itu, disparitas APK SMP/MTs/Paket B/sederajat menurun dari 25,1% pada tahun 2004 menjadi 20,2% pada tahun 2008 dan diperkirakan turun menjadi 18,9% pada tahun 2009. Persentase kelulusan peserta ujian mulai jenjang SMP/MTs/SMPLB/Paket B dari tahun ajaran 2004/2005 sampai tahun 2007/2008 mengalami kenaikan walaupun tidak secara konsisten atau berfluktuasi dari tahun ke tahun. Rata-rata nilai UN SMP/MTs pada tahun 2008 adalah sebesar 6,87 dengan tingkat kelulusan sebesar 92,76%. Rata-rata nilai ujian SMP/MTs tersebut masih di bawah target 2008, yaitu 7. Hal ini mengkhawatirkan karena di samping target nasional tidak tercapai, juga tingkat kelulusan masih di bawah 95%. Program pengembangan sekolah/madrasah bertaraf internasional (SBI) telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah sekolah bertaraf internasional dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 telah terbentuk 207 SD, dan 277 SMP berstandar internasional atau dirintis berstandar internasional (Lihat Tabel 2.2). Target untuk Indikator Kinerja Kunci (IKK) Rasio Lulusan SMP/MTs dan SMA/SMK/MA Tidak Melanjutkan mengikuti PKH juga senantiasa berhasil dilampaui dengan baik. Untuk tahun 2009 diperkirakan rasio ini bisa mencapai 18,99% jauh di atas target nasional yang 15%. Dalam hal prestasi siswa-siswa Indonesia di ajang internasional, pada jenjang pendidikan dasar menunjukkan peningkatan prestasi dengan memperoleh 52 medali emas pada tahun 2008, dibandingkan dengan 28 medali emas pada tahun 2007. VISI, MISI, DAN TUJUAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL Visi dan Misi Kementerian Pendidikan Nasional Dalam rangka mewujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa dan sejalan dengan visi pendidikan nasional, Kemendiknas mempunyai visi 2025 untuk menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (Insan Kamil/Insan Paripurna). Yang dimaksud dengan insan Indonesia cerdas adalah insan yang cerdas komprehensif, yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis. Tabel 3.1 memberikan deskripsi lengkap yang dimaksud dengan insan cerdas dan kompetitif. Visi Kemendiknas 2014 adalah terselenggaranya layanan prima pendidikan nasional untuk membentuk insan indonesia cerdas komprehensif. Yang dimaksud dengan layanan prima pendidikan nasional adalah layanan pendidikan yang: 1. tersedia secara merata di seluruh pelosok nusantara; 2. terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat; 3. berkualitas/bermutu dan relevan dengan kebutuhan kehidupan bermasyarakat, dunia usaha, dan dunia industri; 4. setara bagi warga negara Indonesia dalam memperoleh pendidikan berkualitas dengan memperhatikan keberagaman latar belakang sosial-budaya, ekonomi, geografi, gender, dan sebagainya; dan 5. menjamin kepastian bagi warga negara Indonesia mengenyam pendidikan dan menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat, dunia usaha, dan dunia industri. Untuk mencapai visi Kemendiknas 2014, Misi Kemendiknas 2010--2014 dikemas dalam ”Misi 5K” sebagai berikut : KESIMPULAN 1. Apa yang diharapkan dengan adanya renstra ini belum tercapai hingga akhir tahun 2012 dimana peningkatan mutu pendidikan, relevansi dan daya saing masih dalam tahap usaha, belum dapat dipetik sebagaimana yang diharapkan. 2. Usaha-usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan, relevansi dan daya saing, masih dalam taraf uji coba dan implementasinya masih memerlukan penyempurnaan yang tentunya membutuhkan waktu yang tidak singkat. 3. Usaha pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, relevansi dan daya saing patut kita apresiasi sebagai tenaga yang terjun langsung di lapangan mempraktekkan apa yang menjadi harapan dalam renstra ini. 4. Prediksi untuk Renstra 2010-2014 masih dalam taraf pelaksanaan dan untuk sementara kita dapat menarik konklusi bahwa apa yang diharapkan dalam rensrtra itu belum sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh UUD 1945. 5. Supply Driven , totalitas pendidikan kejujuran dari kurikulum sampai uji kompetensi hanya dilakukan satu pihak (depdiknas). Tidak disadari bahwa para Pakar yang menyusun kurikulum adalah orang-orang yang tidak tahu dunia industri. 6. School Based Program, setiap sekolah akan berusaha melengkapi alat-alat praktek semodern mungkin bagaimana pelajaran disekolah sifatnya tetap simulasi. 7. Tidak ada Recognition of prion learning membuat program kejuruan menjadi kaku dan tidak efektif. Keahlian yang diperoleh diluar SMK tidak diakui dan tidak dihargai oleh sistem SMK. 8. Dead End, Setelah tamat SMK, masuk kedunia kerja seakan-akan itulah akhir karier SMK. Belum ada sistem pendidikan kejuruan (di atasnya) yang mengakui keahlian yang diperoleh tamatan SMK dari pengalaman kerja. 9. Guru kejuruan yang tidak berpengalaman industri, secara teoritis guru hanya mengajarkan apa yang dia tahu, apa yang dia bisa, dan mentransfer nilai-nilai melalui perilaku kerjanya. (Tidak ada sense of quality), sense of economic, sense of competitive advantage. 10. Kepedulian masyarakat industri yang terlalu rendah, sehingga seakan-akan tanggung jawab PTK hanya ada di kementerian pendidikan nasional. 11. Pendidikan kejuruan masih berorientasi pada penyiapan lapangan pekerjaan sektor formal, padahal justru dilapangan sektor informal sangat mendominasi penyerapan tenaga kerja. 12. Pembiayaan pendidikan kejuruan masih sangat bergantung pada pemerintah. 13. Kurikulum sudah terfokus pada kompetensi tertentu. 14. Penjurusan, perlu diorientasikan ke dunia kerja (sekolah perlu diberi keleluasaan mengembangkan program keahlian yang dibutuhkan di dunia kerja) 15. Muatan program MP adaptif perlu ditinjau kembali, mengingat pergeseran kebituhan industri yang sangat cepat. 16. Jumlah jam pelajaran perlu disesuaikan dengan jam dunia industri. Daftar Pustaka 1. ----------------------, 2004, Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009, Depdiknas, Jakarta 2. ---------------------, 2005, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta 3. ---------------------,2010, PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta 4. ---------------------,2010, Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014, Depdiknas, Jakarta 5. Dadang Hidayat Martawijaya , 2009, Pengembangan Program Pendidikan Guru Pendidikan Teknologi Dan Kejuruan Tran-Nasional, Semarang, 6. Depdiknas, Dirjen Dikdasmen. (2008). Data Siswa SMK Negeri dan Swasta (Buku 3) 7. Depdiknas, Dirjen PMPTK (2009). Proyeksi Kebutuhan Guru Sekolah Negeri 2010 –2014. 8. Surya, Wasimuddin, ……., Analisis kebutuhan tenaga guru SMK untuk memenuhi proporsi SMK:SMA 70:30, Bangka Belitung. 9. Yadi Mulyadi, dkk, 2010, Studi Evaluasi Kebutuhan Guru Sekolah Menengah Kejuruan Di Propinsi Bangka Belitung, Fakultas Pendidikan Teknologi Kejuruan Uniersitas Pendidikan Indonesia, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar