BAB I
PENDAHULUAN
Kesadaran akan adanya perubahan
lingkungan dan keinginan untuk maju biasanya menyebabkan munculnya motivasi
baru untuk memecahkan masalah. Namun motivasi ini tidak akan ada gunanya jika
tidak ada “kendaraan” yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan dari perubahan
itu sendiri. “Kendaraan” yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan perubahan
merupakan pilihan dan kesempatan yang harus ditentukan (diputuskan untuk
dipilih). Pemilihan “kendaraan” sebagai suatu keputusan harus ditentukan
berdasarkan pertimbangan yang matang dan memerlukan waktu. Kendaraan tersebut
adalah ‘inovasi’. Pada umumnya masyarakat yang normal tidak begitu saja membuat
keputusan untuk mengadopsi suatu ide inovasi baru hanya dari mendengar saja,
melainkan melalui suatu proses dan waktu, sehingga dirasakan bahwa ide tersebut
(sebagai suatu kendaraan mencapai tujuan) memang dibutuhkan oleh
individu/masyarakat/perusahaan.
Salah satu jalan perubahan dalam kehidupan
masyarakat dalam perkenmbangan teknologi adalah dengan melalui inovasi. Inovasi
tidak dapat berjalan secara parsial, dia harus merupakan kolaborasi antar aktor
yang saling berinteraksi dalam suatu sistem atau sering disebut sebagai sistem inovasi
yaitu suatu kesatuan dari sehimpunan aktor, kelembagaan, hubungan interaksi dan
proses produktif yang mempengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi dan
difusinya (termasuk teknologi dan praktek baik/terbaik) serta proses
pembelajaran (Taufik, 2005). Inti dari sistem inovasi adalah jaringan atau
Network. Memperhatikan pentingnya jejaring dalam sistem inovasi, maka dalam
rangka pengembangan daya saing melalui sistem inovasi daerah diperlukan
penumbuhkembangan kolaborasi bagi inovasi dan meningkatkan difusi inovasi, praktek
baik dan atau hasil litbang. Untuk dapat melakukan tujuan tersebut diperlukan
pemetaan jaringan inovasi sebagai langkah awal untuk mengidentifikasi
aktor-aktor jaringan, tingkat kapasitas dan perannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Inovasi
Proses inovasi sampai diterima oleh
seseorang, mengalami suatu proses mental dalam diri orang yang bersangkutan.
Menurut Lionberger (1968) dalam kaitannya dengan status menerima ide inovasi,
posisi mental masyarakat/organisasi/individu) dapat dikelompokkan menjadi 5
(lima) tahapan mental:
1.
Kesadaran
(awareness) – adalah tahapan di mana
seseorang pertama kali mengetahui ide inovasi;
2.
Minat
(interest) – adalah tahapan di mana
seseorang berusaha mencari secara luas dan detail informasi yang berkaitan
dengan suatu ide inovasi, dalam upaya mencari kemungkinan kegunaan dan
penerapannya;
3.
Evaluasi
(evaluation) – adalah tahapan di mana
seseorang mempertimbangkan dan menyelidiki untuk mendapatkan informasi dan
fakta-fakta dari sudut pandang kondisi yang ada.
4.
Percobaan
(trial) – adalah tahapan bilamana
seseorang secara tentatif mencoba suatu ide, untuk memperoleh tambahan
informasi dalam suatu percobaan.
5.
Penyerapan
(adopsi) – adalah tahapan di mana
seseorang menerapkan ide-ide baru secara praktis dalam kegiatan operasional.
Proses pengembangan inovasi ini oleh
Rogers (1989) digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
Add caption |
Gambar 1. Enam Tahapan Proses
Pengembangan Inovasi (Rhhogers, 1989)
a.
Kebutuhan
dan masalah
Rogers (1989) menjelaskan bahwa salah satu cara memulai
proses pengambilan keputusan inovasi adalah dengan pengenalan kembali masalah
dan kebutuhan. Dengan mengetahui masalah dan kebutuhan dapat merangsang
timbulnya suatu aktivitas penelitian dan pengembangan (Research and Development/R & D) yang dirancang untuk membuat
suatu inovasi bagi pemecahan masalah atau pemenuhan kebutuhan. Pada kasus ini
biasanya ilmuwan peka terhadap permasalahan yang dihadapi dan melakukan
penelitian untuk mencari solusi. Sebagai contoh misalnya, kasus penggunaan
sabuk pengaman bagi pengendara mobil di jalur bebas hambatan di Amerika Serikat
tahun 1960-an. Mula-mula diketahui banyaknya korban tewas akibat kecelakaan di
jalan bebas hambatan (masalah), ternyata setelah diselidiki penyebab korban
tewas adalah karena sebagian besar korban tidak memakai sabuk pengaman dalam
mengendarai mobil. Jika
pengendara memakai sabuk pengaman, maka jumlah korban tewas akibat kecelakaan
mobil dapat ditekan.
b.
Riset
dasar dan terapan
Sebelum suatu bentuk inovasi didifusikan biasanya
dilakukan terlebih dahulu penelitian. Tujuan dari penelitian
ini untuk mengetahui jenis inovasi yang diterapkan apakah sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi yang ada. Peneliti berusaha mencari kesesuaian dan kelemahan
inovasi dalam mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Penelitian yang dilakukan dapat dimulai dari yang
sifatnya sangat mendasar sekali, misalnya dari sebagian aspek teknologinya.
Kemudian barulah dilakukan penelitian dari segi aspek penerapan teknologi.
Karena kita ketahui bahwa teknologi itu sendiri paling tidak terdiri dari 2
komponen utama, yaitu: (1) perangkat keras (hardware),
dan (2) perangkat lunak (software).
Misalnya dalam kasus pemanfaatan internet bagi kegiatan bisnis global
(e-commerce). Paling tidak harus disediakan perangkat keras berupa komputer
beserta kelengkapannya yang memadai (sebagai perangkat keras), dan juga harus
ada perangkat lunaknya seperti: pengetahuan, prosedur, keterampilan, sistem
operasi, internet, jaringan telepon dan lain sebagainya.
c.
Pengembangan
Tahap ini sebenarnya sama dengan istilah Penelitian dan
Pengembangan (R & D). Pengembangan pada dasarnya berbasis pada hasil
penelitian. Oleh karena itu, penelitian dan pengembangan sulit dipisahkan. R
& D ini sangat penting dalam proses pengembangan inovasi, karena pada tahap
ini suatu inovasi sedang berproses untuk mempertemukan antara ide baru yang
menjanjikan keberhasilan dengan kebutuhan potensial dari adopter. Atau dengan
kata lain, pada tahap ini hasil penelitian dicobakan di lapangan untuk
mengetahui kesesuaian dengan khalayak calon pengguna dan kondisi lapangan
sebenarnya. Sebagai contoh adalah kasus tanaman transgenik yang sampai tahun
1999 pemanfaatannya masih dalam taraf uji coba. Pada kenyataannya dari tahun
1986 sampai 1997, telah ada 56 ribu percobaan rekayasa genetika di dunia,
sebagian besar (57%) di Amerika dan 15% di Canada. Saat ini, tanaman transgenik
dengan sifat barunya yang tahan hama dan penyakit, serta punya kualitas
produksi yang lebih baik, sudah banyak ditanam dan dipasarkan di berbagai
negara. Khusus di Indonesia, telah dilakukan penelitian tanaman padi transgenik
sejak tahun 1997 di Balai Penelitian Bioteknologi Bogor untuk memperoleh
tanaman padi transgenik yang tahan terhadap hama penggerek batang, Lepidoptera (Soegiono Moeljopawiro dalam
Anonim, 2000). Walaupun hasil riset ini telah menunjukkan keunggulannya namun
dalam penerapannya masih terjadi kontroversi, terutama dari aspek dampaknya
terhadap lingkungan hidup.
d.
Komersialisasi
Komersialisasi adalah
tahap di mana suatu hasil inovasi, diproduksi, dikemas, dipasarkan, dan
didistribusikan sebagai suatu produk inovasi. Tanaman transgenik seperti kasus
di atas mungkin telah memasuki tahapan ini di Amerika dan beberapa negara
Eropa. Kondisi yang mirip juga terjadi pada saat pertama kali diperkenalkannya
urea tablet sebagai pengganti urea granule
yang dianggap tidak efisien karena banyak yang hilang terbawa air atau menguap.
Pada tahun 1995-an urea tablet menguasai stok pupuk urea
dipasaran (komersialisasi).
e. Difusi
dan adopsi
Pada
tahap ini proses membuat keputusan untuk melakukan suatu inovasi mulai
dilakukan, terutama untuk adopter potensial. Ada dua hal penting yang
berkencambuk dalam tahapan ini dan harus dipikirkan dengan baik, yaitu adanya
dualisme komponen difusi yang harus diperhatikan. Pertama, di satu sisi inovator mengalami tekanan untuk menyetujui
bahwa inovasi sepertinya dapat dilakukan dan dapat mengatasi masalah sosial
serta memenuhi kebutuhan adopter. Oleh karena itu, harus diprioritaskan. Kedua, di sisi lain, reputasi dan
kredibilitas agen perubahan (change
agents) di mata klien sangat penting agar rekomendasi penggunaan inovasi
dapat diterima oleh adopter dan diketahui manfaatnya. Dalam konteks ini, ilmuwan harus mampu menterjemahkan/menjelaskan
inovasi dalam bahasa yang praktis dan dimengerti oleh adopter.
f.
Konsekuensi
Pada
tahapan ini akan diketahui akibat dari adanya inovasi. Apakah masalah yang
mengawali proses komunikasi inovasi dapat terpecahkan atau tidak? Bahkan mungkin
inovasi ditolak karena tidak dapat memecahkan masalah. Lebih lanjut, mungkin
akan muncul permasalahan baru atau kebutuhan baru sebagai akibat dari
diterapkannya inovasi. Sehingga selanjutnya akan terbentuk proses pengembangan
inovasi kembali dan seterusnya. Oleh karena itu, proses pengembangan inovasi
secara keseluruhan sebenarnya membentuk ‘lingkaran setan’.
Saat yang sangat
menentukan dalam inovasi adalah pengambilan keputusan. Arti sempit pengambilan
keputusan adalah berkenaan dengan pemilihan satu alternatif dari sejumlah
alternatif yang ada. Kasus ini sering disebut dengan istilah penentuan pilihan
(choice making). Sedangkan istilah
lain yang populer adalah pembuatan keputusan (decision making) yang berorientasi kepada proses sebelum keputusan
itu diambil sampai ditentukannya suatu pilihan. Sedangkan dalam kaitannya
dengan proses keputusan inovasi lebih sesuai dengan istilah pemecahan masalah (problem solving). Ketiga istilah ini, jika dijelaskan secara verbal mungkin
tidak akan jelas. Oleh karena itu, di bawah ini dapat dilihat bagan proses
pengambilan keputusan inovasi sebagai suatu problem solver yang diilustrasikan
oleh Huber (1980) dalam Kasim (1989).
Pembuatan keputusan
|
Gambar
2. Ruang Lingkup Pembuatan Keputusan
Dari gambar tersebut nampak jelas di mana posisi
pembuatan keputusan yang meliputi tiga aktivitas, yaitu: (1) Aktivitas yang
berhubungan dengan identifikasi, definisi, dan diagnosis masalah, (2) Aktivitas
yang berhubungan dengan pencarian alternatif pemecahan masalah, dan (3) Aktivitas
yang berhubungan dengan evaluasi dan pilihan dari sejumlah alternatif pemecahan
masalah. Sedangkan penentuan pilihan meliputi aktivitas yang berhubungan dengan
evaluasi dan pilihan dari sejumlah alternatif pemecahan masalah. Kemudian
pemecahan masalah meliputi seluruh aktivitas pembuatan keputusan (1-3 di atas)
ditambah dengan: (4) Aktivitas yang berhubungan dengan pemilihan dari sejumlah
alternatif pemecahan masalah, dan (5) Aktivitas yang berhubungan dengan
pemeliharaan, pengawasan, dan evaluasi program pemecahan masalah.
Proses keputusan adaptasi merupakan suatu aktifitas
individu/masyarakat/organisasi yang bertahap, namun batasan dari setiap tahapan
tersebut tidak begitu jelas. Proses
ini mengalir seperti air, sepanjang perjalanan waktu dan dalam serangkaian
aktifitas. Namun untuk menganalisis secara mendalam kita memerlukan suatu
pemodelan untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada individu/organisasi yang akan melakukan
inovasi. Rogers (1989) mengajukan suatu model proses keputusan inovasi, yang
dikonseptualisasikan dalam 5 tahap, seperti di bawah ini.
Gambar 3. Model Proses Keputusan Inovasi menuju Adaptasi
a.
Pengetahuan
Proses keputusan inovasi dimulai dari tahap pengetahuan.
Pada tahapan ini individu mulai menyadari pentingnya melakukan inovasi dan
memahami bagaimana inovasi itu berperan/ berfungsi. Pertanyaannya adalah apakah
kebutuhan atau kesadaran yang muncul terlebih dahulu untuk melakukan inovasi.
Beberapa ahli berpendapat bahwa individu melakukan peranan yang pasif dalam
memperoleh kesadaran/ pengetahuan. Kecuali sampai suatu saat ia mengalami
kejadian/pengalaman buruk sehingga mengetahui betapa pentingnya inovasi. Para
petani umumnya, berusaha sendiri mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam
bercocoktanam (terutama petani kecil), setelah mengalami kegagalan barulah ia
mencari informasi bagaimana mengatasi serangan hama tertentu melalui teman,
atau penyuluh lapangan.
Namun pengecualian juga perlu dilakukan bagi petani yang
aktif menyerap informasi pengetahuan dari berbagai pihak dan media. Banyak pula
petani yang karena keaktivannya menyerap informasi, dengan segera dapat
memperoleh pengetahuan dan sadar perlunya melakukan perubahan dalam usahatani untuk
memperoleh keuntungan.
Rogers (1989) menjelaskan bahwa berkaitan dengan
penguasaan pengetahuan sebagai dasar inovasi pada diri seseorang, dan terdapat
beberapa ciri-ciri orang yang dianggap sebagai earlier knower (orang yang lebih dulu tahu) atau penerima
pengetahuan paling awal yaitu yang memiliki:
a.
pendidikan
yang lebih tinggi dari pada later knower;
b.
status sosial yang lebih tinggi daripada
later knower;
c.
keterdedahan media massa yang lebih
tinggi daripada later knower;
d.
keterdedahan saluran interpersonal yang
lebih tinggi daripada later knower;
e.
kontak
dengan agen perubahan yang lebih tinggi daripada later knower;
f.
partisipasi sosial yang lebih tinggi
daripada later knower; dan
g.
kosmopolit yang lebih tinggi daripada later knower;
Karakteristik dari earlier knower dalam inovasi sama dengan
karakteristik inovator seperti: pendidikan, status sosial yang tinggi, dan lain
sebagainya. Tetapi harus diingat bahwa tidak semua earlier knower adalah inovator. Kadangkala orang telah mengetahui
banyak tentang suatu inovasi, namun ia tetap tidak menerimanya. Mengapa? Salah
satu penyebabnya adalah bahwa seseorang mungkin tahu tentang ide baru tersebut
namun ia merasa cara tersebut tidak relevan dengan situasi dan kegunaannya.
Sehingga dapat dikatakan sikap terhadap suatu inovasi berada diantara
pengetahuan dan fungsi keputusan. Dengan kata lain, sikap atau kepercayaan
seseorang berpengaruh besar terhadap proses keputusan inovasi
b.
Persuasi
Jika pada tahap pengetahuan, sikap mental yang berfungsi
adalah pada tingkat kognitif (pengetahuan), maka pada tahap persuasi sikap
mental yang berfungsi lebih banyak pada tingkat afektif atau sikap. Oleh karena itu, pada tahap ini keterlibatan individu
mengarah kepada aspek psikologisnya. Di mana setelah ia mengetahui ide-ide
baru, ia akan mengevaluasi informasi (innovation-evaluation
information) yang diterimanya. Misalnya adalah dengan mengajukan berbagai
pertanyaan; di mana informasi itu diterima, pesan apa yang ia terima, bagaimana
ia menerima (menginterpretasikan) informasi, dan siapa yang membawa informasi
tersebut?
Jadi di sini terjadi persepsi selektif (selective perception) pada setiap orang
atas suatu inovasi. Hasil dari persepsi selektif ini sangat menentukan sikap
seseorang terhadap inovasi dan selanjutnya mempengaruhi tingkah laku. Oleh
karena itu, jawaban-jawaban mengenai atribut inovasi menjadi sangat penting
pada tahap persuasi, seperti misalnya: (1) keuntungan relatif yang akan
diperoleh (konsekuensi), (2) kompatibilitas/keserasian dengan kondisi setempat,
(3) kerumitan dari inovasi, (4) ketercobaan dari inovasi, dan (5) keterlihatan
inovasi (kegiatan ataupun hasilnya). Meskipun jawabannya mungkin mudah
diperoleh melalui jurnal ilmiah dan majalah, namun seorang individu lebih
senang memperoleh jawabannya dari orang-orang terdekat (mungkin juga teman
sebaya), teman dekat yang memiliki opini subjektif tentang inovasi lebih dapat
dipercaya (berdasarkan pengalaman pribadinya).
c.
Keputusan
Tahap membuat keputusan merupakan tahapan di mana
seseorang (unit pembuat keputusan) melakukan aktivitas untuk memilih mengadopsi
atau menolak suatu inovasi. Adopsi itu sendiri merupakan keputusan untuk
menggunakan secara penuh suatu inovasi sebagai suatu kegiatan yang terbaik dari
yang pernah ada. Rogers dan Shoemaker (1981) menyatakan adopsi sendiri memiliki
dua kemungkinan, yaitu: (1) adopsi berlanjut; dan (2) adopsi tidak berlanjut.
Penolakan merupakan keputusan untuk tidak menerima suatu inovasi. Eveland
(1979) dalam Rogers (1989) membedakan jenis penolakan dalam dua hal, yaitu:
a.
Penolakan
aktif (active rejection), adalah bila seseorang mempertimbangkan
mengadopsi inovasi (termasuk mencobanya) tetapi kemudian memutuskan untuk tidak
mengadopsi;
b.
Penolakan
pasif (passive rejection) atau
disebut juga non-adoption adalah
seseorang yang tidak pernah sama sekali mempertimbangkan menggunakan suatu
inovasi.
Rogers dan Shoemaker (1981) mengklasifikasikan ’menolak’
dengan dua kemungkinan, yaitu: (1) tetap menolak; dan (2) berhenti menolak
(adopsi). Sebagian besar individu yang berada dalam tahap ini biasanya mencoba
melakukan percobaan inovasi dalam skala kecil pada situasi di mana mereka
berada. Dari percobaan ini
mereka belajar menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan ide baru tersebut.
Kadang kala mereka menghadapi hal-hal yang berkaitan dengan sistem pendukung
dari ide baru tersebut.
Pada tahap ini dukungan teman sejawat/profesi (peer group) sangat penting. Karena
dengan adanya teman sejawat/profesi mereka dapat mendiskusikan
masalah/kesulitan dan temuan yang dihadapi dengan teman sejawat tersebut.
Sehingga muncul apa yang disebut sebagai ‘trial
by other’ yaitu aktivitas yang memberikan berbagai macam pengalaman yang
dialami orang lain dalam melakukan percobaan suatu inovasi. Pada tahap ini
peranan agen perubahan sangat penting, karena dapat mempercepat proses inovasi
dengan memberikan dukungan dalam mendemonstrasikan ide baru dalam sistem
sosial. Strategi komunikasi dengan melakukan demonstrasi sangat efektif,
apalagi jika dilakukan oleh pemuka pendapat (opinion leader).
d.
Implementasi
Seseorang dapat dikatakan berada pada tahap
implementasi/penerapan apabila ia telah memulai kegiatan inovasi sebagai
jawaban dari masalah/kebutuhan yang ia hadapi. Namun pada tahap ini, proses
keputusan inovasi pada tahap ini masih semata-mata bersifat mental. Selain itu juga telah terjadi perubahan perilaku karena
ide-ide baru telah benar-benar dipraktikkan. Dalam tahap ini sebenarnya mereka
masih mengalami ketidakpastian dalam keputusannya, meskipun ia telah mengambil
keputusan untuk menginovasi.
Pada tahapan ini seseorang menghadapi berbagai pertanyaan
yang bersifat teknis seperti misalnya: “Dimanakah saya mendapatkan inovasi?”,
“Bagaimanakah saya menggunakannya?”, dan “Problem operasional apakah yang
mungkin akan saya hadapi?”, serta “Bagaimanakah saya memecahkannya?”
Pertanyaan-pertanyaan ini terus berkecamuk sepanjang ia melakukan inovasi. Oleh
sebab itu, pada tahap ini seseorang akan sangat aktif mencari informasi. Agen
perubahan sangat penting peranannya dalam memberikan bantuan teknis operasional
dalam rangka melaksanakan inovasi.
Pertanyaannya sekarang adalah kapan tahapan penerapan dikatakan selesai?
Jawabannya tergantung pada berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
satu periode inovasi, dan itu tergantung pada sifat dasar inovasi itu sendiri.
Tetapi biasanya tergantung pada keadaan di mana ide baru tersebut dapat
terlembaga dan merupakan kegiatan yang teratur dari adopter
e. Konfirmasi
Sejumlah
peneliti mengajukan bukti empiris bahwa suatu keputusan untuk menerima atau
menolak suatu inovasi, sering bukan merupakan tahapan akhir dari suatu proses
keputusan inovasi. Masih terdapat tahapan lain di mana seseorang memerlukan
kembali penegasan atas ide baru. Pada tahap konfirmasi seseorang (unit
pengambil keputusan) memerlukan penguatan atas keputusan inovasi yang telah
dibuat. Mereka mungkin juga membalikkan keputusan yang telah dibuat dengan
mencari informasi negatif dari suatu inovasi. Tahap penegasan berlangsung
setelah terjadi keputusan atau penolakan untuk jangka waktu yang tidak tertentu.
Namun pada tahapan ini individu menghindari ketidakcocokan dan mengurangi hal
itu jika terjadi. Karena pada
dasarnya menurut Fistinger bahwa ada kecenderungan seseorang untuk mengurangi
ketidakselarasan itu (Rogers dan Shoemaker, 1981).
f.
Tipe
Keputusan Inovasi
Proses perubahan pada suatu sistem sosial dapat diawali dengan adanya
keputusan untuk melakukan inovasi. Keputusan untuk membuat inovasi ini mungkin
muncul dari individu, kelompok/organisasi atau otoritas kekuasaan. Inovasi
dapat dilakukan pada tingkat subsistem mana saja dan oleh individu, penguasa
atau oleh kelompok/orang. Sebelum kita membahas berbagai macam keputusan
inovasi terlebih dahulu kita akan melihat mengapa seseorang melakukan perubahan
sikap. Teori belajar sosial yang dikembangkan oleh Albert Bandura (1977)
memiliki ide inti bahwa pada dasarnya seseorang belajar dari model yang dia
amati dari apa yang dilakukan oleh orang lain (Rogers & Shoemaker, 1981).
Walaupun pada kenyataannya tidak semua yang dilihat akan dicontoh secara keseluruhan.
Jadi seseorang dapat belajar
atau mencontoh dari orang lain, mengenai hal-hal tertentu yang diamati.
Dari perspektif teori belajar sosial ini kita dapat mengetahui bahwa
seseorang ternyata dapat belajar dengan cara mengamati apa yang dilakukan oleh
orang lain. Hal ini berarti bahwa seseorang mempunyai potensi sebagai pemula
inovasi, apabila apa yang dilakukan orang tersebut dapat diamati oleh orang
lain. Misalnya adalah ketika seseorang mencoba memulai membudidayakan adenimu,
atau anterium dan ternyata berhasil, maka orang-orang disekitarnya dengan
serentak mencobanya sebagai lahan bisnis baru.
Sedangkan pengaruh suatu
kelompok/komunitas dalam penyebaran inovasi lebih cenderung kepada penguatan
sistem nilai dan dukungan atas suatu inovasi. Manakala suatu komunitas atau
kelompok menentukan untuk melakukan suatu inovasi maka didalamnya ada
nilai-nilai baru yang mau tidak mau harus diikuti oleh seluruh anggotanya.
Pelanggaran terhadap nilai-nilai komunitas dapat dianggap sebagai suatu
ketidaknormalan. Kasus keluarga berencana mungkin dapat menggambarkan secara
sederhana. Dahulu suatu keluarga yang memiliki banyak anak bukan sesuatu yang
aneh. Namun sekarang keluarga yang banyak anak dapat dianggap sebagai suatu
yang luar biasa (terutama di kota-kota besar).
Sedangkan yang
dimaksud dengan dukungan komunitas terhadap suatu proses inovasi adalah
dukungan yang bersifat fisik maupun psikis. Dukungan komunitas yang bersifat
fisik misalnya tersedianya sarana prasarana yang mendukung seperti peralatan,
wahana diskusi (dalam rangka problem solving) dan lain-lain. Dukungan kemitraan
yang bersifat psikis misalnya adanya rasa kebersamaan, rasa percaya diri, rasa
aman (karena resiko bersama) dan lain-lain.
Ketika suatu
perusahaan merasa bahwa produktivitas karyawannya mulai menurun dan memutuskan
untuk melakukan suatu inovasi, maka pihak manajemen membuat suatu kebijakan
baru. Diharapkan kebijakan baru yang merupakan ide baru dari perusahaan serupa
di luar negeri dapat mengubah tingkat produktivitas karyawan. Setelah pihak manajemen memutuskan untuk mengadopsi ide
baru tersebut maka seluruh karyawan harus menerimanya. Ide baru tersebut
mengharuskan seluruh operator mesin pabrik berdiri pada saat bekerja
mengoperasikan mesin pabrik. Ternyata cara ini berhasil meningkatkan
efektivitas penggunaan waktu dan pada akhirnya meningkatkan produksi.
Dari ilustrasi tersebut nampak bahwa suatu keputusan inovasi dapat datang
dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini kita akan membahas beberapa tipe keputusan inovasi dilihat dari
asal keputusan tersebut. Keputusan inovasi individual adalah suatu keputusan
inovasi di mana seseorang mengambil peran dalam membuat suatu keputusan untuk
melakukan inovasi setelah melalui proses pertimbangan yang dilakukan oleh
dirinya sendiri.
Seperti telah kita ketahui bahwa keputusan seseorang untuk menerima atau
menolak inovasi bukan suatu tindakan yang sekali jadi, melainkan suatu rentetan
tindakan yang membentuk rangkaian proses yang terjadi dalam jangka waktu
tertentu. Keputusan inovasi optional muncul karena adanya rangsangan pada diri
seseorang untuk melakukan sesuatu agar dapat mengatasi masalah yang
dihadapinya. Motivasi untuk mengatasi masalah mungkin tidak muncul dari luar,
namun pihak luar dapat berfungsi sebagai pemicu munculnya motivasi dalam dirinya
(seperti teori belajar sosialnya Bandura).
Tipe keputusan inovasi optional mungkin tidak akan menyebar dengan cepat
apabila tanpa didukung anggota komunitas yang ada di sekitarnya, terutama apabila anggota komunitas (sistem sosial)
tidak melihat inovasi itu sebagai suatu kebutuhan bersama. Tipe keputusan ini
mempunyai banyak kelebihan:
·
Pertama,
pilihan terhadap inovasi tertentu memang berasal dari individu yang
bersangkutan. Sehingga dari segi kebutuhan lebih jelas kesesuaiannya.
Pilihannya itu memang menggambarkan kondisi realitas sosial di tingkat lapisan
terkecil dari masyarakat.
·
Kedua,
biasanya partisipasi dalam menerapkan inovasi lebih besar jika memang sesuai
dengan keinginan atau kebutuhan masyarakat.
·
Ketiga,
keberhasilan dari inovasi dengan tipe keputusan ini kemungkinan lebih besar
peluangnya.
Keputusan inovasi kolektif adalah keputusan inovasi
dilakukan berdasarkan sesuatu kesepakatan kolektif dalam suatu komunitas atau
organisasi. Inovasi akan jauh lebih cepat tersebar partisipasinya jika
keputusan dilakukan berdasarkan kepentingan bersama kelompok tersebut.
Penyebaran inovasi kedalam suatu sistem sosial yang melibatkan seluruh anggota
sistem biasanya dilakukan secara sukarela.
Rogers dan Shoemaker (1981) menyebut tipe keputusan ini
sebagai suatu keputusan menerima atau menolak inovasi yang dibuat
individu-individu yang ada dalam sistem sosial melalui konsensus. Proses ini biasanya melibatkan banyak individu dalam
suatu komunitas atau organisasi. Tipe keputusan inovasi kolektif pada prinsipnya
adalah kumulatif dari tipe keputusan optional yang terorganisasi.
Bila peserta yang terlibat cukup banyak maka proses
pengambilan keputusan biasanya berjalan sangat lambat, tergantung secara
relatif kepada jumlah individu, kecepatan proses komunikasi, tingkat
kesenjangan atau kesesuaian persepsi, peluang terjadinya distorsi, keefektifan
jaringan komunikasi, sistem strata sosial, dan lain-lain.
Mengapa hal itu dapat terjadi? Jika suatu forum banyak
melibatkan individu dan masing-masing individu mempunyai kepentingan, pendapat,
dan pikiran sendiri-sendiri, maka sikap terhadap suatu inovasi pun akan
berbeda-beda. Oleh karena itu proses pengambilan keputusan kolektif lebih
panjang dan memakan waktu, bahkan mungkin terjadi pula suatu suasana di mana
keputusan tidak dapat diambil. Apabila kondisi ini terjadi, maka keputusan kolektif
dapat saja beralih kepada keputusan optional, tergantung kepada permasalahan
yang dihadapi, substansi inovasi, kebutuhan, dan lain-lain.
Melihat penjelasan tersebut di atas jelas bahwa tipe
keputusan kolektif lebih rumit prosesnya dibandingkan dengan tipe keputusan
optional. Pada tipe keputusan kolektif peran seseorang sebagai fasilitator
menjadi penting untuk dapat memfasilitasi proses pembuatan keputusan. Tanpa
fasilitator koordinasi pengambilan keputusan yang diambil akan sulit.
Rogers dan Shoemaker (1981) telah mencoba merumuskan
suatu paradigma tentang tahapan pengambilan keputusan tipe kolektif, sekaligus
menyertakan pihak-pihak yang berperan dalam setiap tahapan.
Gambar 4. Paradigma Proses Pembuatan Keputusan Inovasi Kolektif
Tahap stimulasi merupakan tahapan di mana anggota sistem sosial
dirangsang atau didorong minatnya ke arah kebutuhan akan ide-ide baru untuk
mengatasi permasalahan yang ada. Peranan yang sangat penting pada tahap ini
terletak pada stimulator. Stimulator berfungsi sebagai seseorang yang
menstimuli anggota sistem sosial bahwa mereka membutuhkan ide-ide baru.
Stimulator tersebut dapat berasal dari anggota sistem sosial, dari luar sistem
sosial atau dari stimulator tak langsung (dalam media komunikasi).
Tahap inisiasi merupakan
tahapan di mana ide-ide baru diperkenalkan dalam suatu sistem sosial. Pada
tahap ini inisiator berperan sebagai seseorang yang membawa informasi ke dalam
sistem sosial dan memulai memperkenalkan ide-ide baru. Dalam suatu organisasi
biasanya dilakukan oleh konsultan ataupun anggota dari organisasi yang dapat
berperan sebagai inisiator.
Tahap legitimasi merupakan
tahapan di mana ide-ide baru dianggap sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh
seluruh anggota komunitas. Proses pengesahan akan perlunya ide-ide baru
tersebut dilakukan oleh legitimator. Legitimator ini biasanya seseorang yang
sangat berpengaruh, kredibel, dan atau memiliki kekuasaan. Legitimator ini
biasanya berasal dari anggota komunitas itu sendiri.
Tahap keputusan adalah merupakan suatu tahapan di mana pada saat ini
seluruh komunitas harus mengambil suatu konsensus, menolak atau menerima
ide-ide baru. Pada tahap ini
seluruh anggota sistem sosial memiliki hak untuk menyampaikan sikapnya.
Sehingga dalam tahap pengambilan keputusan ini seluruh anggota sistem sosial
ikut berperan.
Tahap tindakan atau pelaksanaan yaitu merupakan suatu tahapan di mana
ide-ide baru yang telah dilegitimasi dan diputuskan dilaksanakan oleh seluruh
anggota sistem sosial (baik ide-ide baru yang diterima maupun yang ditolak).
Sekilas paradigma proses pembuatan keputusan inovasi
kolektif mirip dengan tahap pembuatan keputusan optional. Namun perbedaan yang
sangat mencolok bahwa pengambilan keputusan pada tipe keputusan inovasi
kolektif adalah pada level anggota sistem sosial atau komunitas atau organisasi, sedangkan
pada tipe keputusan inovasi optional berada pada masing-masing individu.
Tipe
keputusan inovasi otoritas merupakan suatu keputusan inovasi yang dilakukan
oleh suatu organisasi formal (Rogers dan Shoemaker, 1981). Organisasi formal
yang dimaksud misalnya pemerintah daerah/pusat, perusahaan, sekolah dan lain
sebagainya. Keputusan inovasi
otoritas ini sangat menarik karena berkaitan dengan hubungan antara suatu
organisasi formal dengan stafnya, masyarakat, dan anggota sistem sosial
(individu). Tipe-tipe keputusan inovasi otoritas ini banyak digunakan dalam
konteks perbaikan kinerja organisasi dan program pemerintah.
Dalam proses keputusan otoritas ini setidaknya ada dua
macam unit yang terlibat dalam proses keputusan, yang pertama adalah unit
pengambil keputusan. Unit ini adalah seseorang atau kelompok menduduki posisi strata sosial yang lebih
tinggi membuat keputusan akhir apakah inovasi itu diterima atau ditolak. Kedua,
unit adopsi, yaitu seseorang, kelompok, atau unit yang menerima akibat dari
keputusan yang dilakukan oleh pihak otoritas. Rogers dan Shoemaker (1981) lebih
lanjut menjelaskan paradigma tahap-tahap proses keputusan inovasi otoritas
sebagai berikut:
Gambar
5. Paradigma Proses Pembuatan Keputusan Inovasi Kolektif
Tahap Pengenalan adalah tahap yang paling besar peranannya dalam proses
keputusan otoritas. Pada tahap ini unit pengambil keputusan
baru mulai mengenal adanya suatu inovasi yang mungkin dapat digunakan untuk
mengatasi permasalahan yang ada dalam suatu organisasi. Kemudian pihak otoritas
menginformasikan ke bawahannya sebagai suatu proses pengenalan inovasi dari
atas ke bawahan. Anggota organisasi yang berstatus rendah dapat saja memberikan
tanggapan apabila arus komunikasi organisasi dengan atasan berjalan dengan baik
walaupun bermuatan informasi yang mungkin negatif (kritik dari bawahan). Seringkali arus informasi dari bawahan yang berupa
kritikan tidak berjalan semestinya (komunikasi tidak efektif).
Di Indonesia sering
disebut sebagai laporan ”asal bapak senang/ABS”. Seperti apa yang diungkapkan
Festinger (1950) dalam Roger dan Shoemaker (1981) yang menyatakan bahwa
seringkali kritikan dari bawahan dipandang sebagai ancaman terhadap kekuasaan
yang lebih tinggi. Mungkin juga bawahan mencoba melindungi posisi mereka atau
diri sendiri di dalam struktur jabatan organisasinya sehingga ia perlu
menyaring informasi dari bawah ke atas.
Unit pengambil keputusan juga bisa memperoleh informasi mengenai inovasi
dari sumber-sumber luar organisasi. Konsultan organisasi misalnya, merupakan
katalis yang potensial dalam rangka perubahan organisasi menuju organisasi yang
lebih baik.
Tahap persuasi adalah tahap di mana unit pengambil keputusan mulai
melakukan penelitian tentang inovasi berdasarkan kebutuhan organisasi. Pada
tahap ini pencarian informasi lebih sistematis dan terencana termasuk berkaitan
dengan variabel-variabel biaya, kelayakan, kemungkinan pelaksanaan, dan lain
sebagainya. Pada fase ini
organisasi melakukan suatu pengujian terhadap hipotesis (inovasi).
Tahap keputusan adalah tahap di mana unit pengambil keputusan mencari
informasi lebih banyak mengenai inovasi yang akan dilakukan dan menilainya
berdasarkan kemanfaatan. Kelayakan, dan konsekuensi yang mungkin diterima. Pada
tahap ini unit pengambil keputusan akan menetapkan apakah menerima atau menolak
inovasi. Penerimaan keputusan inovasi otoritas oleh bawahan sangat tergantung
pada partisipasinya dalam pembuatan keputusan.
Tahap komunikasi adalah tahap di mana unit pengambil keputusan
menginformasikan kebijakan-kebijakan organisasi kepada bawahan. Tahap
komunikasi ini merupakan tahap yang sangat menentukan suatu penerimaan adopsi
atau penolakan adopsi suatu inovasi dapat dilaksanakan atau tidak. Pengalaman
menunjukkan bahwa komunikasi dari atasan kepada bawahan jauh lebih lancar
dibandingkan komunikasi dari bawahan ke atasan sehingga kadangkala pihak atasan
tidak mengetahui apakah keputusan inovasi dapat dikomunikasikan dengan baik ke
bawahan. Selain itu struktur hierarkis dalam suatu organisasi yang terlalu
panjang dapat menyebabkan terjadinya distorsi pesan, sehingga informasi dari
atasan tidak sempurna diterima oleh bawahan. Menurut Likert (1961) dalam Roger
dan Shoemaker (1981), dalam organisasi yang “otoritatif pesan-pesan ke bawah
diterima dengan penuh kecurigaan sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman dan
penolakan. Sebaliknya dalam organisasi yang “partisipatif” komunikasi ke bawah
lebih mudah diterima.
Tahap tindakan adalah tahap di mana inovasi mulai dilaksanakan oleh
unit-unit adopsi. Tahap ini dapat dikatakan sebagai tahap akhir dari suatu
proses inovasi otoritas. Pada tahap inilah konsekuensi dari inovasi itu mulai
nampak, baik konsekuensi yang menyenangkan maupun yang mengecewakan.
B.
Pola
Dasar Laju Kecepatan Adopsi
Jangan pernah dibayangkan bahwa suatu usaha inovasi terhadap sekelompok
individu akan dapat mengadopsi secara bersama-sama. ketika pertama kali
diperkenalkan ‘hand tractor’ kepada
petani, tidak serta merta semua petani memahaminya. Walaupun alasan pengenalan
‘hand tractor’ dianggap lebih
menguntungkan daripada jika pengolahan tanah dilakukan dengan tenaga
manusia/ternak. Alasan-alasan seperti ongkos perawatan yang mahal, topografi
persawahan yang tidak memungkinkan menggunakan traktor, harga traktor/sewa yang
mahal, kesulitan dalam mengoperasikan, dan lain-lain. Begitu juga dalam
kegiatan inovasi lainnya, tidak pernah/jarang diketemukan anggota sistem sosial
serentak melakukan adopsi atas suatu inovasi.
Pada kategori keputusan inovasi kolektif maupun otoritas, adopsi jarang
dapat dilakukan secara serentak. Dengan kata lain, tidak semua individu dalam
sistem sosial mengadopsi suatu inovasi pada saat yang sama. Masing-masing orang
akan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian jika mereka menerima inovasi,
pertimbangan-pertimbangan dilakukan berdasarkan latar belakang masing-masing
anggota sistem sosial. Orang-orang yang memiliki karakteristik latar belakang
yang sama cenderung memiliki kecepatan adopsi yang relatif sama, sehingga
muncul usaha-usaha untuk mengkategorikan penerima inovasi.
Rogers (1983), menjelaskan fenomena tersebut dalam bentuk grafik kurva
distribusi kumulatif adopter inovasi yang berbentuk huruf S dan frekuensi
adopter inovasi pada satuan waktu yang berbentuk grafik normal (bel terbalik),
seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar
6. Kurva Distribusi Adopter Inovasi
Kurva berbentuk huruf S menggambarkan jumlah kumulatif dari adopter pada
satuan waktu tertentu. Mula-mula pada saat inovasi diperkenalkan jumlah adopter masih 0%. Kemudian
seiring dengan jalannya waktu, jumlah kumulatif bertambah secara perlahan
(penambahan adopter baru persatuan waktu masih sedikit) pada titik A misalnya,
jumlah kumulatif adopter baru mencapai 10%. Namun pada titik B jumlah kumulatif
adopter persatuan waktu bertambah dengan cepat. Hal ini ditunjukkan dengan semakin tegaknya
(sloop-nya besar) grafik jumlah kumulatif adopter. Pada titik C anggota yang
belum mengadopsi tinggal sedikit (10%). Pada titik ini akumulasi adopter sudah
banyak namun kecepatan penambahannya mulai menurun.
Grafik berbentuk S ini menggambarkan jumlah kumulatif adopter persatuan
waktu. Selanjutnya jumlah kumulatif adopter semakin bertambah sejalan dengan
perjalanan waktu. Namun pada akhirnya kecepatan kumulatif semakin lamban,
karena individu yang belum mengadopsi tinggal sedikit. Kurva normal yang
berbentuk lonceng terbalik menggambarkan penambahan jumlah adopter (frekuensi) persatuan
waktu. Misalnya pada titik D, setelah proses inovasi berjalan pada skala waktu
tertentu ternyata kecepatan penambahan jumlah adopter masih rendah. Berarti
kecepatan anggota sistem sosial dalam melakukan inovasi masih sangat lambat.
Sedangkan pada titik E kecepatan penambahan jumlah adopter pada periode waktu
tertentu paling tinggi. Pada akhir masa adopsi (titik F), jumlah penambahan
yang mengadopsi pada skala waktu tertentu hanya sedikit. Sehingga secara
keseluruhan membentuk pola grafik yang simetris antara sisi kiri dan kanan, di
mana porosnya terletak pada saat di mana jumlah adopter paling tinggi persatuan
waktu. Skala waktu tertentu di sini misalnya skala waktu dalam tahun atau bulan
C.
Penggolongan/kategori adopter
Berdasarkan hasil penelitian Rogers dan kemudian juga dilakukan oleh Bose
di tempat berbeda menunjukkan bahwa kasus adopsi pada masyarakat hampir
semuanya menunjukkan frekuensi yang berdistribusi normal. Gambar di bawah ini
mencoba memvisualkan bagaimana suatu proses kegiatan inovasi dalam sistem
sosial dikategorikan berdasarkan keinovatifan dari anggota sistem. Tujuan
ilustrasi ini untuk melihat secara riil bahwa sebenarnya dalam suatu sistem
sosial anggotanya memiliki berbagai macam keinovatifan.
Gambar 7. Kategori Keinovatifan
Seperti telah dijelaskan tadi, bahwa ternyata distribusi adopter menyebar
mendekati normal. Distribusi frekuensi yang menyebar secara normal dapat
digunakan untuk mengklasifikasikan tipe-tipe adopter. Nilai rata-rata (X)
sampel dari suatu distribusi normal dapat digunakan sebagai dasar pendekatan.
Nilai rata-rata dapat membagi bidang mendekati simetris. Parameter lainnya
adalah simpangan baku (Sb), Simpangan baku menjelaskan besarnya rata-rata
penyimpangan data dari suatu sampel terhadap nilai rata-rata dari seluruh
sampel. Simpangan baku ini dapat digunakan sebagai alat pembagi antar
klasifikasi. Rogers (1983) mengkaji klasifikasi adopter menjadi 5
kategori, yaitu:
1.
Inovator (Innovator);
2. Adopter
pemula atau pelopor (Early Adopters);
3. Pengikut
dini atau pengikut awal (Early Majority);
4.
Pengikut lambat atau pengikut akhir (Late Majority); dan
5.
Kolot (Laggard).
Untuk
pengkategorian adapter harus dilakukan secara hati-hati, karena dapat
mengakibatkan gambaran riil dalam sistem sosial tidak terlihat. Untuk itu
Rogers (1983) telah memberikan rincian yang harus dimiliki oleh seperangkat
kategori. Suatu kategori memiliki unsur-unsur berikut:
1.
Sempurna (exhaustive),
yakni mencakup semua sampel/responden.
2.
Keterpisahan antar kelompok (mutually exclusive) atau adanya perbedaan yang jelas antara satu
kategori dan kategori lainnya.
3.
Pengklasifikasian tunggal (one classificatory principle), diambil dari satu prinsip
pengelompokkan.
Sedangkan masalah-masalah
yang akan muncul dalam mengadakan standardisasi kategori adopter ada 3 hal,
yaitu:
1. Penentuan jumlah kategori yang perlu
dikonseptualisasikan.
2. Menentukan jumlah bagian dari anggota
suatu sistem yang masuk dalam setiap kategori.
3. Menentukan suatu metode, statistik atau
lainnya, untuk mendefinisikan kategori adopter.
Pengkategorian semacam ini dan permasalahannya sangat penting Anda ketahui
ketika Anda ingin melakukan penelitian atau studi pada suatu masyarakat.
Sehingga Anda dapat menganalisis dengan cermat masing-masing kategori secara
lebih teliti sesuai karakteristiknya masing-masing.
D. Karakteristik
adopter
Rogers (1983) membuat suatu konsep tipe ideal dari
kategori adopter yang didasarkan pada observasi kenyataan dan dirancang untuk
memungkinkan membuat paradigma. Tujuannya untuk dijadikan pedoman bagi usaha
penelitian dan merupakan kerangka acuan untuk menyusun variabel penelitian.
Karakteristik
kategori adopter adalah:
1.
Inovator (Innovator)
Inovator adalah
orang-orang yang suka melakukan petualangan. Mereka secara aktif mencari
gagasan-gagasan baru sehingga memaksa ia harus bersifat dinamis. Kelompok ini
sangat senang menjalin hubungan-hubungan baru dengan orang-orang yang memiliki
informasi. Mereka tidak saja menjalin hubungan-hubungan baru dalam sistem
sosial tetapi juga dari luar sistem sosial. Biasanya para inovator ini selalu
berkomunikasi dan bersahabat dengan inovator-inovator lain walaupun dibatasi
oleh kendala jarak. Dengan kata lain inovator ini memiliki sifat cosmopolite.
Tidak mudah menjadi
seorang inovator. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar dapat menjadi
seorang inovator. Seorang inovator paling tidak harus
memiliki:
a.
sumber dana yang cukup;
b.
kemampuan daya pikir;
c.
berani mengambil resiko; dan
d.
berani berpetualang.
2.
Pelopor (Early Adopter)
Pelopor adalah tipe orang yang berorientasi ke dalam
sistem sosialnya. Artinya orang tersebut memiliki kepedulian untuk membantu
mengembangkan sistem sosialnya sehingga sering disebut pula sebagai si
tauladan. Berbeda dengan inovator yang berorientasi ke luar sistem untuk
mencari ide-ide baru.
Pelopor biasanya penuh dengan kehati-hatian dalam
meneliti suatu inovasi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah atau
kebutuhan sistem sosialnya. Oleh karena itu, pelopor ini sering dijadikan
sebagai penasihat dan sumber informasi anggota sistem sosialnya yang juga akan
melakukan inovasi.
Pelopor biasanya berasal dari kalangan pemuka pendapat,
guru, dan kalangan intelektual desa lainnya yang dihormati oleh masyarakat.
Mereka merupakan gambaran dari keberhasilan inovasi
Tingkat keinovatifan pelopor tak jauh berbeda dengan para
anggota sistem lainnya. Para agen pembaru mencari pelopor ini sebagai partner
dalam adopsi inovasi, untuk mempercepat proses adopsi. Si
pelopor ini juga cenderung bersifat cosmopolite.
3.
Pengikut Dini (Early Majority)
Orang
yang termasuk dalam kelompok pengikut dini memiliki beberapa ciri, diantaranya
ia banyak berinteraksi dengan sesama anggota sistem lainnya. Diantara mereka
jarang yang berposisi sebagai pemegang pimpinan kelompoknya. Pengikut dini
seringkali terlalu banyak mempertimbangkan inovasi yang ingin diadopsi. Namun
secara umum pengikut dini ini dalam menerima ide-ide baru hanya beberapa saat
setelah rata-rata anggota sistem sosial.
4.
Pengikut Akhir (Late Majority) = Skeptis
Pengikut akhir baru akan mengadopsi ide-ide baru setelah
rata-rata anggota sistem sosial melakukannya. Pengadopsian ini biasanya karena
kepentingan ekonomi (secara ekonomi sudah jelas menguntungkan). Selain itu
pengikut akhir belum mau mengadopsi jika sebagian besar anggota sistem belum
menerimanya. Mereka tidak cukup hanya disadarkan atau dibujuk, tetapi
kadang-kadang juga harus dengan tekanan atau norma-norma sistem sosial agar mau
mengadopsi. Pengikut akhir ini bersifat skeptis dan localite (cenderung berkomunikasi ke dan dengan orang-orang dari
dalam sistem sosial).
5.
Si Kolot (Laggards)
Kelompok
anggota sistem sosial yang paling akhir menerima inovasi disebut dengan istilah
Si Kolot. Jarang sekali di antara mereka yang termasuk kelompok pemuka pendapat.
Si kolot ini biasanya memiliki wawasan yang sempit dan bahkan kadang-kadang
termasuk dalam anggota masyarakat yang ‘terasing’. Kelompok ini menjadikan
‘masa lalu’ sebagai referensi dalam pengambilan keputusan. Si kolot punya
kecenderungan berkomunikasi dengan orang-orang yang mempunyai nilai-nilai
tradisional. Keterlambatan
kelompok ini disebabkan karena kekurangtahuan dalam memahami ide-ide baru.
E. Kecepatan
adopsi
Kecepatan adopsi merupakan kecepatan relatif di mana
suatu inovasi yang diperkenalkan diadopsi oleh anggota sistem sosial. Tolok
ukur yang dipergunakan adalah banyaknya individu yang mengadopsi dalam satuan
waktu tertentu. Periode waktu yang dimaksud adalah saat/waktu antara pertama
kali ide-ide baru diperkenalkan dengan terjadinya adopsi. Gambar di bawah ini
akan membantu menjelaskan secara visual konsep tersebut di atas.
Gambar 8. Kecepatan Wawasan Pengetahuan; Kecepatan
Adopsi, dan Jarak Periode Keputusan Inovasi dari Petani Iowa dalam Mengadopsi
Penyemprot Gulma Sepanjang Tahun 1944-1955 (Rogers, 1983)
Gambar tersebut di atas terdiri dari dua sumbu. Sumbu
vertikal menunjukkan prosentase kolektif dari petani dalam satuan persen. Angka
100% misalnya, menunjukkan jumlah seluruh petani. Sumbu horisontal menunjukkan
waktu dalam satuan tahun. Kurve kecepatan wawasan pengetahuan menunjukkan laju
kecepatan dari proses penerimaan pengetahuan tentang alat semprot gulma
(tanaman penggangu tanaman yang dibudidayakan, misal: rumput). Pada tahun 1944
adalah saat pertama kali penyemprot gulma diperkenalkan sehingga jumlah petani
yang memiliki wawasan pengetahuan tentang alat tersebut belum ada (0%). Antara tahun 1953-1954, seluruh petani telah memiliki
wawasan pengetahuan tentang penyemprot gulma.
Kurva kedua adalah kurva laju kecepatan adopsi. Sejak
pertama kali petani memperoleh wawasan tentang penyemprot gulma pada tahun
1944, adopter yang pertama terjadi setelah tahun 1945. Seluruh petani
mengadopsi alat tersebut pada tahun 1955.
Periode keputusan inovasi pada gambar tersebut ditunjuk
oleh daerah yang diarsir. Dibutuhkan periode waktu selama 1,7 tahun untuk
menjadikan 10% petani yang telah memiliki wawasan pengetahuan seluruhnya
mengadopsi alat tersebut.
Setelah kita mengetahui apa yang dimaksud dengan
kecepatan wawasan pengetahuan (rate of
awareness-knowledge), kecepatan adopsi (rate
of adoption), dan jarak periode keputusan inovasi (length of the innovation decision). Selanjutnya kita akan mencoba
mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi.
F. Sifat
Inovasi
Berdasarkan penelitian yang sudah
banyak dilakukan menunjukkan bahwa ada 5 sifat inovasi yang penting untuk
diperhatikan, yaitu:
a.
Keuntungan
relatif adalah tingkat keuntungan yang mungkin diperoleh
dari ide-ide baru yang diadopsi dibandingkan dengan ide-ide sebelumnya. Tingkat
keuntungan relatif ini biasanya dikaitkan dengan keuntungan ekonomi.
b.
Kompatibilitas
(kesesuaian) adalah suatu ukuran sejauhmana suatu ide-ide baru dianggap sesuai
dengan nilai-nilai setempat, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan penerima.
Suatu inovasi semestinya sesuai dengan: (1) nilai-nilai kepercayaan
sosio-kultural, (2) dengan ide-ide yang telah diperkenalkan lebih dulu, dan (3)
dengan kebutuhan terhadap inovasi.
Suatu
inovasi yang sesuai/cocok memperkecil resiko kegagalan bagi penerima dan
membuat ide baru itu lebih berarti baginya.
c.
Kompleksitas
(kerumitan) adalah tingkat kerumitan dari suatu ide-ide baru untuk dimengerti
dan digunakan menurut persepsi adopter. Kerumitan dapat digambarkan dengan
suatu kontinu:
Gambar 9. Tingkat
Kerumitan
Ide-ide
baru mungkin mudah dipahami oleh seseorang tetapi tidak untuk orang lain.
Semakin rumit suatu ide-ide baru menurut anggota sistem sosial, semakin lambat
proses adopsinya.
d.
Triabilitas
(ketercobaan) adalah suatu tingkat kemungkinan dapat dicoba/dipraktikan suatu
ide-ide baru dalam ukuran skala yang lebih kecil. Suatu ide-ide baru yang dapat
di coba akan lebih cepat dan mudah ditiru oleh adopter. Selain itu memperkecil
risiko kegagalan bagi adopter.
e.
Observabilitas (keteramati) adalah tingkat di mana suatu ide-ide baru dapat
dilihat/diamati oleh anggota sistem sosial. Dengan dapatnya dilihat dan diamati
maka kepercayaan calon adopter semakin tinggi sehingga proses adopsi lebih
cepat.
BAB III
KESIMPULAN
Adaptasi yang cepat dalam
penerapan dan pengembangan teknologi memiliki karakteristik berupa tingkat
penggunaan yang mudah, tingkat penerapan yang
tinggi dan aplikatif. Pengguna yang masuk kategori adopter cepat
memiliki persepsi yang tinggi terhadap karakteristik inovasi keuntungan relatif
dan observabilitas serta memiliki persepsi yang rendah terhadap karakteristik
inovasi kompleksitas.
Status sosial ekonomi seperti dari pendidikan
formal, tingkat pendapatan juga menjadi salah satu factor pengukur kecepatan
adopsi pengguna/masyarakat dalam menerapkan teknologi dalam kehidupan. Persepsi
mengenai sifat-sifat inovasi yang terdiri dari Keuntungan, kesesuaian,
keteramatan dalam suatu teknologi menjadi kunci atau penunjang lain teknologi
menjadi mudah dan cepat diterapkan dalam kehidupan. Banyaknya akses atau sumber
informasi yang dimanfaatkan bisa menjadi jendela bagi pengguna atau masyarakat
dalam mengetahui dan mengembangkan kembali teknologi tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Alkadri,dkk,2001,
Manajemen Teknologi, P2KTPW, Jakarta.Desai, Meghnad et al, 2002, Measuring the Technology Achievement of
Nations and the Capacity to Participate in the Network Age, Journal of Human
Development, Vol. 3, No. 1, Carfax
Publishing
Foster, R, 1996, Innovation:
the Attackers Advantage, Summit Books, New York.
Hendrik, 2003, Sekilas
tentang Knowledge Management, Ilmukomputer.com
Nonaka, I., &
Takeuchi, H., 1995, The Knowledge
creating company: how japanese companies create the dynamics of innovation, New
York: Oxford University Perss.
Pantjadarma,Derry,
20111, Presentasi Sinergi-Pengamatan Empirik, Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi
Teknologi, BPPT
Parachute
Consulting, 2008, Report:
Understanding Knowledge Management
Sulaeman, Atang
/Muchdie, dkk, 2005, Difusi Teknologi, Teori, Pendekatan, dan Pengalaman,
PPKDT-BPPT: Jakarta
Taufik, A, Tatang, Sistem
Inovasi Daerah, BPPT Press, Jakarta.
Taufik, Tatang A.,
2005, Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan, Pusat
Pengkajian Kebijakan Pengembangan Unggulan Daerah dan Peningkatan Kapasitas
Masyarakat - BPPT, Jakarta
Wang,clement K,2001,Conditions
for Innovation: Skill and Expertise Development, National University of Singapore,
Singapore, pp,1-16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar